dika blog

dika blog
subhanallah

Total Tayangan Halaman

Minggu, 21 Maret 2010

SALAT MALAM NISFU SYA’BAN DAN FADHILAHNYA

SALAT MALAM NISFU SYA’BAN
DAN FADHILAHNYA
Oleh Andika Saputra, S.Pd.I

Hadith-hadith tentang Nisfu Sya’ban tidak mengajarkan kita apakah bentuk amalan khusus pada malam tersebut.. Oleh itu amalan-amalan tertentu pada malam tersebut seperti baca yasin sempena Nisfu Sya’ban, solat-solat khas tertentu adalah bukan ajaran Nabi s.a.w dan sahabatnya.
1. Pengarang kitab I’anathut Thalibin jilid I, hal 270 menyatakan bahwa, “disebutkan didalam kitab irsyadul ‘Ibad “Sebahagian daripada bid’ah mazmumah ( dibenci ) yang berdosa orang mengerjakannya dan wajib bagi pemerintah melarangnya yaitu salat malam nisfu sya’ban 100 rakaat. Adapun dasar atau dalil tentang salat tersebut yaitu hadits maudhu’ atau hadits palsu, dan batil.”
2. Didalam kitab Furu’ Masail karya Maulana Syaihk Daud Bin Abdillah Fatani Asy-syafi’I disebutkan bahwa “Dasar daripada salat malam nisfi Sya’ban adalah hadits kazib dan batil serta menurut jumhur ulama adalah bid’ah.Adapun salat yang tidak terkhusus dengan niat nisfu sya’ban dan dilakukan sendiri dirumah maka hukumnya tidak haram, bahkan dibolehkan karena tidak keluar dari pada salat sunat mutlak.Pendapat ini sesuai dengan pendapat imam Nawawi yang disebutkan didalam kitabnya “Majmu’” .

3. Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban: “Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca do`a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu do`a yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid`ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka. (Dr. Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Mu`asarah jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).
4. Mahmud Shalthut dalam kitabnya Min Taujihaatil Islam, hal.469. mengatakan bahwa “berlaku pada adat orang islam akhir-akhir ini, bahwa mereka merayakan malam nisfu sya’ban sebagai perayaan agama, baik dimesjid maupun dirumah. Dimesjid mereka berkumpul setelah salat magrib dan mereka melakukan salat khusus nisfu sya’ban kemudian mereka membaca surat yasin dengan suara keras dan kemudian mereka akhiri dengan doa-doa nisfu sya’ban dan di ulang-ulang sebantak tiga kali, doa yang pertama dengan panjang umur, kedua dengan niat untuk terangkat bala dan yang ketiga dengan niat supaya kaya”.Semua itu menurut Mahmud Shalthut adalah sesuatu yang dilarang dalam agama dan juga bud’ah mazmumah yang tidak pernah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

5. Adapun pendapat yang menyatakan kesunnahan salat malam nisfu sya’ban berdasarkan dari khabar yang diriwayatkan oleh hasan bisri tanpa diketahui siapa perawi dan bagaimana sanadnya.Bila dilihat dari segi ilmu hadits maka hadits ini tertolak dan tidak bisa dijadikan sebagai rujukan.
Mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban,Terdapat hadith sahih yang menerangkannya, tetapi amalan-amalan tertentu khas untuk malam tersebut adalah tidak sabit daripada Nabi s.a.w. Antara hadith yang sahih mengenai nisfu Sy`aaban adalah:
يطلع الله تبارك وتعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain). Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, Riyadh: Maktabah al-Ma`arf).
KESIMPULAN
1. Kesunnahan Shalat nisfu sya’ban tidak ada sumber yang otentik ( Al-Quran, hadist dan serta pendapat ulama yang mu’tabar )
2. Shalat nisfu sya’ban yang dilakukan secara berjamah adalah bid’ah mazmumah ( dibenci )
3. Shalat nisfu sya’ban yang diniatkan sebagai shalat sunnat mutlak dan dilaksanakan tidak secara berjamaah diperbolahkan oleg agama.

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN
Oleh : Andika Saputra, S.Pd.I
Disampaikan pada acara Training Guru TPIA Himmatuddin.
A. Pendahuluan

Wahai penanggung jawab anak, jika kita lemparkan tanggung jawab pendidikan mereka ditempat-tempat asuhan anak, saya khawatir kita akan menerima siksa ganda.Siksa pedih sebab kita membiarkan mereka yang bersih itu menjadi tercemar dan balasan setimbal akibat perlakuan keliru yang keliru.maka Rasulullah membebankan tanggung jawab pendidikan anak itu sepenuhnya dipundak orang tua.
Bahkan rasul telah meletakkan kaidah dasar yang intinya bahwa seorang anak itu akan tumbuh dewasa sesuai dengan agama orang tuanya.Kedua orang tualah yang besar pengaruhnya terhadap mereka.
Upaya pendidikan terhadap anak dan meluruskan kesalahan, serta membiasakan mereka melakukan kebaikan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan continue.
Imam al-ghazali dalam risalahnya aiyuhal walad mengumpamakan proses tarbiyah itu bagaikan usaha petani mencabuti duri-duri dan membuang tumbuhan asing dari tanamannya agar tumbuh dengan baik dan sempurna.
Dan rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk berlaku adil kepada anak-anak dan murid umatnya.

B. Sifat-Sifat Pendidik Islam
Memang tidak ada manusia yang sempurna selain rasulullah. Namun orang tua harus berusaha memilki sifat-sifat agar bisa dijadikan teladan bagi anak-anaknya.Semakin baik sifat-sifat orang tua sifat sebagai pendidik, semakin dekat tingkat keberhasilannya dalam mendidik .berikut ini sifat-sifat yang harus disandang oleh pendidik sukses.
a. Penyabar dan tidak marah
Dua sufat ini menurut rasulullah adalah sifat yang dicintai oleh Allah.Berkenaan dengan hal ini ada kejadian yang menarik yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Thahir. “ pada suatu hari al-makmun memanggil pelayannya sampai tiga kali, dan pada ketiga kali pelayan tersebut baru menyahuti panggilan makmun dengan mengatakan “apakah pelayan tidak berhak makan minum”bukankah tadi saya baru melayani anda, kenapa dipanggil2 lagi?mendengar perkataan itu makmun tertunduk lama, saya curiga jangan-jangan makmun akan menyuruh saya untuk memenggal kepalanya, kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata kepada saya wahai Abdullah, jika ada majikan yang baik, justru pelayannya yang buruk, tapi saya tidak mau berprilaku buruk untuk memperbaiki prilaku pelayan saya.
b. Lemah lembut
Allah itu maha lembut dan cinta kepada kelembutan.diberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikan kepada kekerasan dan kepada selainnya.
Tidakkan kelemah lembutan itu melainkan akan membuat sesuatu itu menjadi indah, ketiadaanya pada sesuatu akan menyebabkannya menjadi buruk. ( HR. Muslim )
c. Hati yang penuh dengan rasa kasih dan sayang
Sulaiman malik bin al-huwairist pernah tinggal ( nyantri ) bersama rasulullah, dengan teman-teman sebayanya selama dua puluh malam, kami dapati beliau seorang yang sangat penyayang dan pengasih.setelah beliau melihat kami sudah rindu kepada keluarga, beliau bertanya tentang siapa saja orang yang kami tinggalkan dirumah, kami memberitahukannya, dan beliau memerintahkan kami pulang.
d. Memilih yang termudah di antara dua perkara selagi tidak berdosa
Aisyah berkata “tidaklah dihadapkan kepada rasulullah antara dua perkara melainkan akan dipilihnya perkara yang paling mudah selama hal itu tidak berdosa.Jika itu terlarang atau berdosa maka beliaulah yang paling pertama menjauhinya dan meninggalkannya.
e. Fleksibel
Arti flkesibel disini ialah sikap kendor atau mudah yang tetap berada dalam koridor syariah.
f. Tidak emosional ( suka marah )
Dalam pendidikan sifar pemarah dan emosional harus dijauhi. Sifat demikian bahkan menjadi factor kegagalan dalam pendidikan anak.maka ketika ada orang yang meminta kepada rasulullah agar diberi pesan secara khusus , tiga kali beliau memintanya agar tidak suka marah.
g. Bersikap moderat dan seimbang
Ekstrim dan berlebih-lebihan adalah sikap tercela.jika harus marah pun ada tempatnya dan tidak sampai menyababkan tindakan keluar dari kebenaran.Rasulallah sebagaimana layaknya manusia lain, juga bisa marah.Namun, jika marah pun karena kebenaran.kalamat yang terucap pun tetap tidak pernah keluar dari kebenaran.
h. Ada senjang waktu dalam member nasehat
Seringkali banyak bicara itu tidak mendatangkan hasil. Sebab itulah imam Ibnu hanifah berpasan kepada para muridnya, “janganlah kalian mengajarkan fiqh kalian kepada orang yang sudah tidak berminat!”Ibnu mas’ud, hanya member nasehat kepada para sahabat hanya pada kamis.

C. Metode Mendidik Ala Rasul
Banyak orang tidak menyadari kalau anak adalah salah satu dari pemimpin umat. Hanya karena masih tertutup dengan baju anak. Seandainya apa yang ada dibalik bajunya dibukakan kepada kita, niscaya kita akan melihat mereka layak disejajarkan dengan para pemimpin.akan tetapi sunnatullah menghendaki agar tabir itu disibakkan sedikit demi sedikit melalui pendidikan. Namun, tidak semua pendidikan berhasil, kecuali dengan strategi matang dan berkelanjutan. ( syaihk muhammad al-khidhr husain dalam bukunya as-sa’datul udhma )
“Ajarlah, permudahlah dan jangan persulit.gembirakan dan jangan takut-menakuti.Jika salah seorang diantara kalian marah hendaklah yang lainnya berdiam diri.
1. Keteladanan
Keteladanan yang baik akan membawaki kepada kesan yang positif dalam jiwa anak.orang yang paling banyak diikuti oleh anak adalah orang tuanya.
2. Memilih waktu yang baik untuk menasehati
Memberi nasehat pada waktu yang sesuai sangat besar pengaruhnya.orang tua dan guru harus mampu memiloih kapan saatnya yang tepat agar hati anak-anak dapat menerima dan terkesan dengan nasehatnya. Dengan demikian, beban pendidikan akan semakin berkurang. Dan hasil pendidikan dapat dicapaisecara maksimal.
Seperti :
a. Saat berjalan-jalan atau di atas kendaraan.
b. Waktu makan
c. Waktu anak sakit
3. Bersikap adil dan tidak pilih kasih
Ketidakadilan dan sikap pilih kasih orang tua dan guru terhadap anak-anak akan menimbulkan rasa kecemburuan dan kedengkian dalam jiwa anak karena maresa dirinya disisihkan. Perasaan itulah yang timbul pada diri saudara-saudara yusuf.
4. Memenuhi hak-hak anak
Anak yang dipenuhi dan dikabulkan hak-haknya akan memilih bersikap positif terhadap kehidupan.Ia kan belajar bahwa dalam hidup ini harus bersikap saling member dan menerima.Sekaligus dapat melatih dirinya untuk tunduk kepada kebenaran.Keteladanan yang baik dan sikap adil tehadap anak yang bersedia menerima kebenaran akan membuat dirinya terbuka. Bahkan ia mampu mengaktualisasikan jati dirinya dan berani menuntut hak-haknya. Kalau tidak potensinya akan terhanguskan dan terpadamkan.
Perhatikanlah rasulullah, bagaimana beliau memenuhi hak-hak anak kecil meskipun harus mendahului orang tua.Diriwayatkan oleh imam bukhari dan muslim dari sahal bin saad bahwa rasulullah saw, telah diberi air minum. Disamping kanan beliau ada seorang anak kecil, yakni al-fadhil bin al-abbas dan disamping kiri beliau ada orang dewasa.Setelah minum sebagaimana lazimnya,jika bergiliran harus dilakukan dari sebelah kanan terlebih dahulu, Rasulullah bertanya kepada anak yang berada disamping kanan beliau, apakah engkauizinkan aku memberikan minum mereka terlebih dahulu?”
Tidak wahai rasulullah!kata anak kecil itu, Aku tidak akan mengutamakan siapapun setelah aku mendapatkan bagianku, Rasulullah pun menyerahkan air itu kepadanya.
5. Mendoakan anak
Doa merupakan doa utama yang harus diamalkan oleh orang tua.Memilih waktu-waktu mustajab untuk berdoa juga perlu.Doa akan semakin menghangat kasih sayang dan memantapkan cinta orang tua terhadap anaknya.Demi kebaikan anak atau muridnya orang tua harus memohon dengan sungguh-sungguh dan penuh harap kepada Allah karena hal merupakan sunnah rasul dan para nabi.
6. Membelikan mainan

7. Membantu anak agar berbakti dan taat

tafsir surat al-hujarat ayat 11-13

Pendapat Mufassirin Tentang Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat Al-Hujarat Ayat 11-13
Oleh : Andika Saputra, S.Pd.I

Surat al-Hujurat berisi pentunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-olok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama.
Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat Madaniah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting; mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.

Berikut ini adalah bunyi lengkap surat Al-Hujarat ayat 11-13 :
                                                                       •   •      ••           •      •    
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(11)

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(12)

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (13 )

Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis akan mengemukakan pendapat mufassirin, sebagai berikut:
        ...

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain. .Kata ( يسخر) yaskhar / memperolok-olokkan ialah menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku. Allah SWT, melarang hamba-Nya mengejek dan menghina orang lain dan larangan ini di arahkan kepada laki-laki dan permpuan.
Hamka didalam kitabnya Tafsir Al-Azhar mengemukakan sebagai berikut:
Ayat ini ( pangkal ayat 1 ) akan menjadi peringatan dan nasehat sopan santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman.Itu pula sebabnya janganlah mempeeolok-olok kaum yang lain. Mengolok-olok, mengejek, menghina, merendahkan dan seumpamanya, janganlah semua itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman; boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari mereka yang memperolok-olok. Inilah peringatan yang halus dan tepat sekali deari Tuhan.Mengolok-olok tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman.

Sayyid Quthub didalam kitabnya Fi Zilaili Quran menjelaskan sebagai berikut :
Melalui ayat 11 surat Al-Hujarat, Al-Quran memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan Hai orang-orang yang beriman . Allah melarang suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, sebab boleh jadi kaum yang di olok-olok itu lebih mulia dalam pandangan Allah dari pada kaum yang mengolok-olok.

Ahmad Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan :

Kata السخرية yang berarti Mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan taqwa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-olokkan). Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya As-sukhriyah dan As-sikhriyah (huruf sin di dhamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataanya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk.

Kata ( قوم ) qaum merupakan kata yang menunjukan arti jamak dari sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-anak. Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita.
Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutip Abuddin Nata, kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu qiyam yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu.

Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk al-Qur.an yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memimiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-olok itu hukumnya haram karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan permusuhan.
...              ...
Boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekirannya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta.ala, maka Allah mengabulkannya. Maka seyogianyalah agar tidak seorang pun yang berani mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compangcamping, atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancer berbicara. Karena ia barangkali lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta.ala.

Hamka didalam tafsirnya menyebutkan bahwa “dari larangan ini nampaklah dengan jelas bahwasanya orang-orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kehilafan orang lain, niscaya ia lupa akan kesalahan dan kealpaan yang ada pada dirinya.
Oleh karena itu, Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-olok itu dilakukan di tengah orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara di pihak lain banyak pula yang sakit hati.
...      ...
Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. Kata ( تلمزوا ) talmizu terambil dari kata) ( اللمز ) al-lamz) Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran dan penganiayaan.

M.Quraish Shihah menjelskan ayat di atas sebagai berikut :

Kata (تنابزوا ) terambil dari kata (النبز ) an-Nabz yakni gelar buruk. At-tanabu adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yan mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggala sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetap juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.

Orang yang dipanggil dengan gelar buruk, maka orang tersebut akan meras terhina da ternodai kehormatannya, sedangkan memelihara kehormatan orang lain adalah diwajibkan. Oleh karena itu, janganlah memanggil orang lain denga gelar buruk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak suka dengan panggilan tersebut.
Tindakan seperti ini jelas dilarang dalam Islam. Karena, di antara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan hal semacam ini. Rasulallah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu menyinggung dan mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia.
Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lain-lain adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat dengan taubatan nashuha, haruslah dipanggil dengan panggilan yang menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya.
Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya Abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan al-.Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A.masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai menyakitkan perasaannya.
...     ...
Seburuk-buruk panggilan ialah kefasikan sesudah iman.

Kata ( الأسم ) al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: .Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.. Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: .Seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri dan lain-lain.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan penggilan yang menyakitkan.
...     
Siapa saja yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk. maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. Dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat:
1. Mengolok-olok orang lain
2. Mengejek diri kamu sendiri
3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk.
Berikut ini penafsirat ayat 12 surat Al-Hujarat
                            •   •    
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Menurut Sayyid Quthub ayat ini menegakkan jalinan lain pada masyarakat yang utama lagi mulia, seputar kemulian individu, kehormatannya, dan kebebasannya sambil mendidik manusia dengan ungkapan yang menyentuh dan menabjubkan tentang cara membersihkan perasaan dan kalbunya.
          ...
Beliau berpendapat bahwa untaian surah yang dumulai dengan panggilan kesayangan Hai orang-orang yang beriman lalu menyruh mereka menjauhi banyak prasangaka, sehingga mereka tidak mebiarkan dirinya dirampas oleh setiap dugaan, kesamaran, dan keraguan yang dibisikkan oleh orang lain disekitarnya.ayat ini memberikan alasan bahwa sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.
Karena m,enurut Beliau takkala lar5angan didasarkan atas banyak berprasangka, sedangkan aturannya menyebutkan itu merupakan dosa, maka pemberitahuan dengan ungkapan ini intinya agar manusia menjauhui buruk sangka apapun yang akan menjeruskannya ke dalam dosa, sebab ia tidak tahu sangkaannya yang amnakah yang menimbulkan dosa.
Hal yang serupa pula diungkapkan oleh Ahmad Al-Maraghi didalam Tafisrnya Al-Maraghi, Beliau lebih mengkhususkan kepada kaum muslimin , sedangkan Sayyid Quthub menggambarkan lebih umum.
Ahmad Maraghi bahkan menambahkan tentang alasan larangan berprasangka melalui untaian firman Allah didalam surat Al-Fath ayat 12 yang berbunyi :
...       
... dan kamu Telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.

Menurut Hamka prasangka adalah tuduhan yang bukan-bukan, persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata tuhmat yang tidak pada tempatnya. Dengan prasangka tersebut dapat memutuskan tali silaturrahmi di antara kaum muslimin sehingga Allah SWt mengharamkan prasangka yang tidak beralasan. Hal ini sesuai pula yang di ungkapkan oleh Ibnu Katsir didalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir yang diringkas oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i.
Menurut M. Quraish Shihab Kalimat hai orang-orang yang beriman jauhilah dengan upaya bersungguh-sungguh banyak dari dugaan yakni prasangka buruk terhadap manusia yang tidak memeliki indikator memadai, sesungguhnya sebagian dugaan yakni tidak memliki indikator itu dosa.
Lebih lanjut lagi penulis akan menukilkan penafsiran kata di atas untuk lebih memperjelas pemahamannya sebagai berikut :
kata اجتنبوا Ijtanibuu / Banyak terambil dari kata جنب Janb yang berarti ¬samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jankauan tangan.Dari sini kata tersebut dia rtika jauh. Sedangkan penambahan huruf ت / ta pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata ijtanabu berrarti bersungguh-sungguh. Upaya sungguh-sungguh dalam menjaauhkan prasangka buruk. Sedangkan kata كثيرا katsiran / banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah.Tiga dari sepuluh adalah banyak, dan enam dari sepuluh adalah kebanyakan.

...     ...
M.Quraish Shihab melanjutkan penafsiran potongan ayat selanjutnya yaitu Kata تجسّسوا / tajassasu terambil dari kata جسّ / jassa. Yakni upaya ,encari tahu dengan cara sembunyi.Dari sini mata-mata dinamai جاسوس / Jaasus.
Upaya melakukan tajassus dapat menimbulkan meranggangan hubungan, karena pada prinsipnya ia dilarang.ini tentu saja bila tidak ada alasan yang untuk melakukannya. Selanjutnya perlu dicatat bahwa karena Tajasus merupakan kelanjutan dari dugaan, sedang dugaan ada yang dibenarkan dan ada yang tidak dibenarkan, maka tajasus pun demikian. Ia dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menampik mudharat yang sifatnya umum.Karena itu mematai-matai musuh atau pelanggar hukum, bukanlah termasuk Tajassus yang dibenarkan. Adapun tajassus yang berkaitan dengan urusan pribadi seseorang dan hanya didorong untuk mengetahui keadaannya, maka ini sangat terlarang.
kata يغتب / yagrtabu menurut Beliau terambil dari kata غيبة / gribah yang berasal dari kata غيب / graib yakni tidak hadir.Gribah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa walaupun keburukan yang diungkap oleh pengunjing tadi memang disandang oleh objek gribah, ia tetap terlarang.
Larangan mencari-cari kesalahan orang lain dan gribah juga menurut Sayyid quthub hukumnya haram. Menurut Beliau Pemberantasan ini sejalan dengan tujuan Al-Quran yang hendak membersihkan akhlak dan kalbu.Namun hal ini memeliki dampak yang lebih jauh dari pada persoalan tersebut, yaitu menjadi salah satu prinsip islam yang utama dalam sistem kemasyarakatan dan dalam penerapan serta aplikasi hukum.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Katsir didalam kitabnya Ringkasan tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, bahwa mencari-cari kesalahan orang lain dan gribah tidak dibenarkan dalam islam.
Mengunjing menurut Hamka adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Bahkan menurut Beliau hal ini merupakan mata rantai dari kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia kebusukan seseorang ketika orang itu tidak ada, tiba-tiba saja dia pun datang; maka pembicaraan pun berhenti dengan sendirinya, lalu bertukar sama sekali dengan memuji, dan menyanjung tinggi. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut.
...        ...
Beliau melanjutkan penafsiran potongan ayat selanjutnya yaitu apakah suka seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Artinya bahwasanya membicarakan keburukan seseorang ketika dia tidka hadir, samalah artinya dengan memakan manusia yang telah mati, tegasnya makan bangkai yang busuk.Maka jijiklah kamu kepadanya. Dal hal ini sesuai pula dengan apa yang disebutkan oleh para mufassirin yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini didalam Tafsir mereka.
Maka bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah penerima taubat, lagi maha penyayang. Penafsiran ayat ini menurut mereka adalah jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertaubatlah dari kesalahan yang hina itu disertai dengan penyesalan dan bertaubat.Allah senantiasa membuka pintu kasih sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.
Selanjutnya peneliti akan menyebutkan penafsiran mereka terhadap ayat 13 untuk mempermudah peneliti dalam membahas dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
 ••           •      •    

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Allah mengabarkan kepada manusia behwa Dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa dan telah menjadikan dari jiwa itu pasangannya. Jiwa yang dimaksud adalah Adam.Dan Allah juga telah menciptakan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling kenal mengenal di antara satu dengan yang lainnya dan yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa.
 ••     ...
Ahmad Al-Maraghi menafsirkan potongan ayat 13 di atas sebagai berikut: Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari Adam Hawa.Maka kenapakah kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersaudara dalam nasab dan sangat mengherankan bila saling mencela sesama saudaramu atau saling mengejek atau panggil-memanggil dengan gelar yang jelek.
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal yaitu agar tercapai Ta’aruf “saling kenal” di antara mereka.
M.Quraish Shihab menafsirkan kalimat sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai berikut :
Adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama disisi Allah, tidak ada perbedaan di antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan satu suku dengan suku yang lain.Tidak perbedaan pada nilai kemanusiaa antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan ayat terakhir ini yakni sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertakwa .Karena itu berusahalan untuk meningkatkan ketaqwaan agar menjadi manusia yang termulia disisi Allah.

...   ...
Dan kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah supaya kamu kenal-mengenal,yakni saling kenal, bukan saling mengingkari.Sedangkan mengejek, mengolok-olok dan mengunjing menyebabkan terjadi nya saling mengingjari.
Kata الشعوب menurut Ahmad Maraghi didalam kitabnya Tafsir Al-Maraghi adalah jamak dari الشعاب yaitu suku besar yang bernasab kepada nenek moyang , seperti suku Rabi’ah dan Muhdar. Sedang kabilah adalah lebih kecil lagi, seperti kabilah bakar yang merupakan bagian dari Rabi’ah, kabilah Tamim yang merupakan bagian dari Muhdar.
Hal serupa juga ditafsirkan oleh Hamka, bahkan Beliau merincikan tentang proses pembentukan janin sebagaimana yang telah kita ketahui bersama yaitu sebagai berikut :
Maka tidaklah ada mausia didalam alam ini yang tercipta melainkan dari pencampuran antara laki-laki dan perempuan, persetubuhan yang menimbulkan berkumpulnya dua kumpulan mani ( Khama ) jadi satu, 40 hari lamanya yang dinamai dengan Nuthfah.Kemudian empat puluh lamanya menjadi darah, empat puluh hari lamanya menjadi ‘Alaqah.setelah tiga kali empat puluh hari mulai dari Nuthfah, ‘Alaqah dan Mudghrah, jadilah ia manusia yang ditiupkan nyawa kepadanya dan lahirlah ia kedunia.

Dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya saling kenal-mengenal. Yaitu bahwasanya anak yang mulanya setumpik mani yang berkumpul bersatu padu dalam satu keadaan belum nampak jelas warnanya tadi, kemudian jadilah ia berwarna menurut keadaan iklim buminya, hawa udaranya, letak tanahnya, peradaran musimnya sehingga timbullah berbagai warna wajahnya dan diri manusia dan berbagai pula bahasa yang mereka pakai terpisah di atas permukaan bumi dalam keluasannya , hidup mencari kesukaannya sehingga dia pun berpisah berpecah, dibawa untung masing-masing, berkelompok karena dibawa oleh dorongan dan panggilan hidup, mencari tanah yang sesuai dan cocok, sehingga lama-kelamaan hasillah apa yang dinamai bangsa-bangsa dan kelompok yang lebih besar dan rata, bangsa-bangsa tadi terpecah lagi menjadi suku-suku dalam ukuran lebih kecil dan terperinci.

... •    ...
Selanjutnya Hamka menafsirkan potongan ayat 13 yang artinya Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertakwa. Penjelasan penggalan ayat ini bagi manusia adalah bahwasanya kemulian sejati yang dianggap bernilai oleh Allah, yang lainnya tidak adalah kemulian hati, kemulian budi pekerti, kemulian perangai, dan ketaatan kepada ilahi.
Penafsiran yang senada juga diungkapkan oleh Sayyid Quthub didalam kitabnya, tetapi beliau berpendapat bahwa kemulian yang hakiki adalah kemulian yang datang dari Allah dan ia tidak menafsirkan kemulian itu dari hati.
... •   
Ujung ayat ini mereka, kalau diperhatikan dengan seksama maka nampaklah peringatan lebih dalam lagi bagi manusia yang silau matanya karena terpesona oleh urusan kebangsaan dan kesukuan, sehingga mereka lupa bahwa kedua-duanya bukanlah untuk dibanggakan dengan bangsa atau suku yang lain melainkan untuk saling kenal-mengenal.

skripsi: Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Quran ( Kajian Tafsir surat Al-Hujarat Ayat 11-13 )

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia dan nikmat serta hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Demikian juga shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta pewaris risalahnya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi yang berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN ( Kajian tafsir surat Al-Hujarat ayat 11-13 )” ini tidak akan berhasil sebagaimana diharapkan tanpa adanya restu, dorongan serta pengertian orang tua, guru-guru dan teman-teman tercinta. Semoga dengan selesainya skripsi ini hasilnya dapat mengobati segala jerih payah serta kepribadian mereka.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari banyak pihak, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang dapat penulis sebutkan hanyalah sebagian dari mereka tanpa mengurangi rasa terima kasih mendalam kepada mereka, diantaranya adalah : Drs. Hafifuddin M.Ag selaku ketua STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dan juga sebagai pembimbing pertama, Ibu Nurhayati M.Ag kajur Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dan Bapak Husaini M.Ag selaku ketua prodi Pendidikan Agama Islam STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dan juga sebagai pembimbing kedua serta dosen-dosen yang lain, yang telah membantu membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan serta pengarahan selama penulis kuliah/belajar di sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malikussaleh Lhokseumawe.
Dan juga rasa terima kasih penulis ucapkan kepada pembimbing pertama dan kedua yang telah penulis sebutkan namanya di atas, yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis sehingga mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dan juga kepada kepala perpustakaan STAIN Malikussaleh Lhokseumawe serta seluruh Karyawannya dan juga kepada kepala perpustakaan umum Kabupaten Aceh serta para pegawainya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas yang ada dalam penulisan skripsi ini. Terakhir sekali penulis menuturkan terima kasih kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa/i jurusan Tarbiyah yang telah memberikan motivasi dan ilmu sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, semoga amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh yang akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari.
Akhirnya, penulis mengharapkan kepada Allah semoga tulisan ini dapat bermanfaat kepada siapa saja yang membutuhkannya sekalipun masih ada kekurangannya dan juga penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Amin ya rabbal ‘alamin.
Lhokseumawe, Desember 2009
Penulis

Andika Saputra
Nim : 052100652









ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Nilai-Nilai pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an ( kajian Tafsir surat Al-Hujarat ayat 11-13 ). Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah akhir-akhir ini Akhlak yang baik merupakan hal yang mahal dan sulit dicari. Minimnya pemahaman akan nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Al-Qur’an akan semakin memperoleh kondisi kepribadian seseorang, bahkan hidup ini seakan-akan terasa kurang bermakna. Untuk membentuk pribadi yang mulia, hendaknya penanaman akhlak terhadap anak digalakkan sejak dini, karena pembentukannya akan lebih mudah disbanding setelah anak tersebut menginjak dewasa. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pendapat mufassirin tentang pendidikan yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13, nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13 dan bagaimana metode pembinaan akhlak yang terkandung dalam ayat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung didalam surat Al-Hujarat 11-13 dan menjelaskannya. Metode yang digunakan penelitian adalah deskriptif analisis, karena peneliti bertujuan untuk memusatkan diri pada nilai-nilai bantuan kitab-kitab tafsir para ulama klasik dan ulama kontemporer secara objektif melalui kepustakaan ( library research ) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku, ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian di olah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis metode dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif. Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para musafir dalam menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat yang akan menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat. Setelah penulis memperoleh rujukan yang relevan kemudian data tersebut disusun, dianalisa, sehingga memperoleh kesimpulan. Adapun hasil dari penelitian adalah Nilai pendidikan menjunjung kehormatan kaum Muslimin, taubat, positif thinking, ta’aruf dan pendidikan egaliter (persamaan derajat). Adapun pembinaannya dalam penelitian Islam yaitu saling menghormati dapat dilakukan dengan keteladanan, nasihat, kisah, metode peringatan dan ancaman (tarhib). Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat (ceramah). Pendidikan positif thinking dapat dilakukan dengan metode keteladanan, metode nasihat dan metode pembiasaan. Pendidikan ta’aruf dapat dilakukan dengan nasihat, kisah dan pembiasaan. Pendidikan egaliter dapat dilakukan dengan ceramah/persuasi, nasihat, keteladanan dan metode kisah.









BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Akhlak dalam Islam merupakan rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan dalam menentukan sikap, baik secara akal, mental, maupun moral untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diembankan sebagai seorang hamba dihadapkan Khaliq-Nya dan juga Khalifatul fil Ardh ( pemeliharaan ) di alam semesta ini. Dengan demikian fungsi utama pendidikan akhlak adalah mempersiapkan generasi penerus dengan kemampuan dan keahliannya yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ketengah lingkungan masyarakat lainnya sebagaimana Rasulullah SAW yang telah di abadikan di dalam Al-Qur’an.
Pendidikan akhlak juga merupakan faktor yang sangat penting dalam membangun rumah tangga yang sakinah. Suatu keluarga yang tidak dibangun dengan tonggak akhlak mulia tidak akan dapat hidup bahagia sekalipun kekayaan materialnya melimpah ruah. Sebaliknya terkadang suatu keluarga yang serba kekurangan dalam masalah ekonominya, dapat bahagia berkat pembinaan akhlak keluarganya. Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anak-anak.
Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an. Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai akhlak tersebut mudah ditemukan di lapisan masyarakat. Penyimpangan yang peneliti maksudkan yaitu sebagian kaum muslimin tidak lagi saling menghormati dan menghargai satu sama lain, lebih-lebih remaja putra dan putri, setelah melakukan sebuah perbuatan dosa atau maksiat berupa kekejian akhlak, mereka tidak bertaubat dengan cara meminta maaf kepada pihak yang bersangkutan, bahkan seakan-akan mereka menganggap bahwa mereka tidak berdosa, berprasangka buruk, baik kepada sesama kaum muslimin, maupun kepada pemerintah, adanya kelebihan suatu bangsa atau suku dengan bangsa atau suku dengan bangsa atau suku lain, misalnya suku Aceh lebih mulia dari pada mengetahui adanya persamaan hak antara sesama muslim atau non muslim dan laki-laki dengan perempuan.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi, yang menunjukkan penyimpangan terdadap nilai yang terdapat di dalamnya. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman Al-Qur’an akan semakin memperarah kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh karena itu, untuk memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan ajaran Islam, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan kembali kepada ajaran yang terdapat di dalamnya.
Lingkungan keluarga dalam hal ini orang tua memiliki peran yang sangat besar serta merupakan komunitas yang paling efektif untuk membina seorang anak agar berperilaku baik. Di sinilah seharusnya orang tua mencurahkan rasa kasih sayang dan perhatikan kepada anaknya untuk mendapatkan bimbingan rohani yang jatuh lebih penting dari sekedar materi. Seandainya dalam lingkungan keluarga sudah tercipta suasana yang harmonis maka pembentukan akhlak mulia seorang anak akan lebih mudah dan seperti itu pula sebaliknya.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dalam membina anak, hendaknya setiap orang tua memahami terhadap kandungan yang ada di dalam Al-Qur’an khususnya yang terkait dengan akhlak mulia, karena bagi umat Muslim Al-Qur’an merupakan referensi utama dalam mengatur hidupnya di samping hadist Rasulullah SAW. Islam sebagai agama yang universal meliputi semua aspek kehidupan manusia mempunyai system nilai yang mengatur hal-hal yang baik, yang dinamakan dengan akhlak Islami. Sebagai tolak ukur perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, karena Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulai akhlaknya.
Di dalam Al-Qur’an terdapat prilaku (akhlak) terpuji yang hendaknya aplikasikan oleh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam. Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya.
Penyair besar Syauqi pernah menulis:

Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini.
Syair tersebut menunjukkan bahwa akhlak dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya suatu bangsa. Seseorang akan di nilai bukan karena jumlah materinya yang melimpah, ketampanan wajahnya dan bukan pula karena jabatannya yang tinggi. Allah SWT akan menilai hamba-Nya berdasarkan tingkat ketakwaan dan amal (akhlak baik) yang dilakukannya. Seseorang yang memiliki akhlak mulia akan dihormati masyarakat akibatnya setiap orang di sekitarnya merasa tentram dengan keberadaannya dan orang tersebut menjadi mulia di lingkungannya.
Melihat fenomena yang terjadi nampaknya di zaman sekarang ini akhlak mulia adalah hal yang mahal dan sulit diperoleh, hal ini seperti telah penulis kemukakan terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai akhlak yang terdapat dalam Al-Qur’an serta besarnya pengaruh lingkungan. Manusia hanya mengikuti dorongan nafsu dan amarah saja untuk mengejar kedudukan dan harta benda dengan caranya sendiri, sehingga ia lupa akan tugasnya sebagai hamba Allah SWT. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa kemerosotan akhlak terjadi akibat adanya dampak negatif dari kemajuan di bidang teknologi yang tidak diimbangi dengan keimanan dan telah mengiringi manusia kepada sesuatu yang bertolak belakang nilai Al-Qur’an. Namun hal ini tidak menafikan bahwa manfaat dari kemajuan teknologi itu jauh lebih besar daripada madharatnya.
Untuk dapat memiliki akhlak yang mulia sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an mestilah berpedoman pada Rasulullah SAW karena beliau memiliki sifat-sifat terpuji yang harus dicontoh dan menjadi panduan bagi umatnya. Nabi SAW adalah orang yang kuat imannya, berani, sabar dan tabah dalam menerima cobaan. Beliau memiliki akhlak yang mulia, oleh karenanya beliau patut ditiru dan dicontoh dalam segala perbuatannya. Allah SWT memuji akhlak Nabi dan mengabadikannya dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
(QS Al-Qalam [68]: 4)
Dalam sebuah hadits Nabi SAW, juga dijelaskan sebagai berikut :



Dari Muhammad bin Ajlan dari Al-Qa.qa bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia . (HR. Ahmad)
Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa arab sebelum Islam datang maka akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak dalam hal akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai akhlak yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Masalah di atas sudah tentu memerlukan solusi yang diharapkan mampu mengantisipasi perilaku yang mulia dilanda krisis moral itu, tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan manusia kepada terjaminnya moral generasi bangsa yang dapat menjadi tumpuan dan harapan bangsa.
Peneliti melihat, bahwa surat Al-Hujarat ayat 11-13 memiliki kandungan (makna) tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang sangat dalam dan kerap sekali tidak di indahkan oleh masyarakat. Di antara kandungannya adalah:
1. Bahwa umat manusia agar senantiasa menjunjung kehormatan dan menghargai kaum Muslimin.
2. Taubat dengan jalan menyesali kesalahan dan tidak mengulanginya
3. Husnudhan (positif thinking) kepada orang lain.
4. Ta’aruf (saling kenal mengenal antara satu bangsa dengan bangsa yang lain atau suku)
5. Adanya persamaan kedudukan (egaliter) manusia di hadapan Allah SWT.
Oleh karena beberapa hal di atas, maka ayat tersebut sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman bagi umat Muslimin dalam rangka pembelajaran. Pembentukan serta pembinaan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menggali, membahas dan mendalami lebih jauh tentang ayat tersebut sebagai judul penulisan skripsi.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkan dalam skripsi ini dengan judul: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tafsir Surat Al-Hujarat Ayat 11-13).
B. Fokus Penelitian
Mengingat keterbatasan yang ada pada peneliti dan untuk lebih terarah penelitian ini, maka peneliti hanya menfokuskan penelitian ini pada:
1. Pendapat para mufassirin tentang pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13.
2. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13.
3. Metode Pembinaan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13.
C. Pertanyaan Penelitian
Dari latar belakang masalah di atas, maka muncullah beberapa pertanyaan dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana Pendapat para musaffir tentang pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13?
2. Nilai-nilai pendidikan Akhlak apa saja yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13?
3. Bagaimana metode Pembinaan Akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Penulis ingin mengetahui pandangan serta pendapat para musafir mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13.
2. Penulis ingin menjelaskan pendapat para ulama kandungan surat Al-Hujarat ayat 11-13 tentang nilai-nilai pendidikan akhlak.
3. Penulis ingin menjelaskan metode Pembinaan Akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13?
E. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Untuk dapat dijelaskan kepada siapa saja yang membutuhkan, kepada orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap probletika dekadensi moral dan bagi pembaca yang concern dalam menggali nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. Agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penanaman nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
3. Untuk dapat mempermudah seseorang/guru/orang tua dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan akhlak dikeluarga dan lingkungannya masing-masing serta kepada masyarakat umum, khususnya generasi muda supaya memiliki akhlak yang mulia sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Hadits.

















BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam metode ini penulis menggunakan metode deskriptif Analistik yaitu sebuah kajian yang mencoba mendeskipsikan gejala-gejala yang nampak dan menganalisanya secara objektif yang dituangkan dalam bentuk kata-kata atau gambar dan bukan angka. Metode ini penulis gunakan karena penulis bertujuan untuk memusatkan diri pada nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13 dengan bantuan kitab-kitab tafsir para ulama klasik dan ulama kontemporer secara objektif.
B. Sumber Bahan
Dalam penelitian ini penulis menganalisa ayat serta mengambil data dari pendapat para ahli (mufassir) yang diformulasikan dalam buku-buku atau kitab-kitab, istilah ini lazim disebut library research yaitu pengambilan data yang berasal dari buku-buku atau karya ilmiah di bidang tafsir dan pendidikan, yang terdiri dari sumber primer dan sekunder.
Maka yang menjadi Sumber primer dalam penelitian ini adalah Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Al-Azhar serta Tafsir Fo Zilalil Qur’an.
Adapun yang menjadi sumber sekundernya adalah buku-buku atau kitab tafsir serta buku pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi.
C. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Peneliti Membaca berbagai referensi yang berkenaan dengan masalah yang sedang diteliti kemudian.
2. Menyeleksi ayat-ayat yang menjadi sumber bahan primer dan sekunder serta kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan penelitian ini.
3. Mencari ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan penelitian ini.
D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Metode Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan, baik data dari sumber primer maupun dari sumber skunder selanjutnya diolah dengan cara: Pertama Pemeriksaan Data : melakukan pengecekan, apakah data terkumpul tersebut cukup, benar, dan sesuai atau relevan dengan masalah, Kedua penandaan data yaitu dilakukan dengan memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literature), pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbitan), atau rumusan masalah, Ketiga rekontruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, logis sehingga mudah dipahami dan di interpretasikan, Keempat sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.
2. Metode Analisis Data
Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan metode Tafsir Tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf, dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafazh atau kalimat yang terdapat di dalamnya, dan menjelaskan isi kandungan ayat serta kemudian dikaitkan dengan education approach.
E. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku PANDUAN PENULISAN KARYA ILMIAH Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe Tahun 2008 dan buku Metodologi Penelitian yang relevan untuk memperkaya perbandingan dalam penulisan skripsi ini.












BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 11-13
A. Pendapat Mufassirin Tentang Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat Al-Hujarat Ayat 11-13
Surat Al-Hujarat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-ngolok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama.
Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusian. Hakikat ini merupakan cakrawal yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.
Berikut ini adalah bunyi lengkap surat Al-Hujarat ayat 11-13 :







Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari merek. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan yang lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik, dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka itulah orang-orang yang zhalim.(11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan). Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(12)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(13)
1. Isyarat Pendidikan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 11


Asbabun nuzul Ayat pertama di atas sebagaimana yang dikutip oleh K.H.Q.Shaleh dan H.A.A.Dahlan dalam karyanya Asbabun Nuzul, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Jubair bin Adh-Dhahak, Muhammad SAW, tiba di Madinah pada saat orang-orang biasanya mempunyai dua atau tiga nama. Pada suatu saat Rasulullah memanggil seseorang dengan salah satu namanya, tetapi ada orang yang berkata: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ia marah dengan panggilan itu. Kemudian turun ayat ini yang melarang memanggil orang dengan sebutan yang tidak disukainya.
Untuk lebih memahami kandungan surat Al-Hujarat ayat 11-13, penulis akan mengemukakan pendapat mufassirin, sebagai berikut:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Kata ( ) yaskar / memperolok-olokkan ialah menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku. Allah SWT, melarang hamba-Nya mengejek dan menghina orang lain dan larangan ini di arahkan kepada laki-laki dan perempuan.
Hamka di dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar mengemukakan sebagai berikut:
Ayat ini ( pangkal ayat 1 ) akan menjadi peringatan dan nasihat sopan santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman itu. Itu pula sebabnya janganlah memperolok-olok kaum yang lain. Mengolok-olok, mengejek, menghina, merendahkan dan seumpamanya, janganlah semua itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman: boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari mereka yang memperolok-olok. Inilah peringatan yang halus dan tepat sekali dari Tuhan. Mengolok-olok tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman.
Sayyid Quthub di dalam kitabnya Fi Zilaili Quran menjelaskan sebagai berikut:
Melalui ayat 11 surat Al-Hujarat, Al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan Hai orang-orang yang beriman. Allah melarang suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, sebab boleh jadi kaum yang di olok-olok itu mulia dalam pandangan Allah dari pada kaum yang mengolok-olok.
Ahmad Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan :
Kata yang berarti Mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan taqwa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-ngolok). Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya As-Sukhriyah dan As-Sikhiriyah (huruf sin di dhamahkan atau di kasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk.
Kata ( ) qaum merupakan kata menunjukkan arti jamak dari sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-anak. Menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita.
Menurut M. Quraish Shihab seperti di kutip Abuddin Nata, kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu qiyan yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu.
Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk Al-Qur’an yaitu masyarakat yang memiliki etika luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab seluruh jama’ah itu satu dan kehormatannya pun satu.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-olok itu hukumnya haram karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan permusuhan.

Boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak diperdulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala, maka Allah mengabulkannya. Maka seyogianya agar tidak seorang pun yang berani mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compangcamping, atau karena ia cacat lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya daripada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala.
Hamka di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa “dari larangan ini nampaklah dengan jelas bahwasanya orang-orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya ia lupa akan kesalahan dan kealpaan yang ada pada dirinya.
Oleh karena itu, Allah menyebutkan kata jama’ dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-olok itu dilakukan di tengah orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olok, sementara di pihak lain banyak pula hati yang sakit hati.

Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. Kata ( ) talmizu terambil dari kata ( ) (al-lamz) Para Ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangan ajaran dan penganiayaan.
M. Quraish Shihab menjelaskan ayat di atas sebagai berikut :
Kata ( ) terambil dari kata ( ) an-Nabz yakni gelar buruk. At-tanabu adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang mengandung makna timbul balik, berbeda dengan al-lamz pada penggala sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetap juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengandung siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.
Orang yang dipanggil dengan gelar buruk, maka orang tersebut akan merasa terhina dan ternodai kehormatannya, sedangkan memelihara kehormatan orang lain adalah diwajibkan. Oleh karena itu, janganlah memanggil orang lain dengan gelar buruk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak suka dengan panggilan tersebut.
Tindakan seperti ini jelas dilarang dalam Islam. Karena, di antara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu menyinggung dan mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia.
Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lain-lain adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat dengan taubatan nasuha, haruslah di panggil dengan panggilan yang menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya.
Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditolerensi oleh agama. Misalnya Abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan al-Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A.masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahram dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai menyakitkan perasaannya.

Seburuk-buruk panggilan ialah kefasikan sesudah iman.
Kata ( ) al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia di sifati dengan sifat keimanan. Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: Seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri dan lain-lain.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendo’akan saudaranya agar ia tetap berada di jalan yang di ridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan panggilan yang menyakitkan.

Siapa saja yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, maka mereka itu di cap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. Dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat Al-Hujarat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat:
a. Mengolok – olok orang lain
b. Mengejek diri kamu sendiri
c. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk
2. Isyarat Pendidikan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 12.
Berikut ini penafsirat ayat 12 surat Al-Hujarat



Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan). Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan-keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.
Ayat ini turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mengunjingkan perbuatannya. Maka ayat ini melarang seseorang mengumpat dan menceritakan keaiban orang lain.
Menurut Sayyid Quthub ayat ini menegakkan jalinan lain pada masyarakat yang utama lagi mulia, seputar kemulian individu, kehormatannya, dan kebebasannya sambil mendidik manusia dengan ungkapan yang menyentuh dan menakjubkan tentang cara membersihkan perasaan dan kalbunya.

Beliau berpendapat bahwa untaian surah yang dimulai dengan panggilan kesayangan Hai orang-orang yang beriman lalu menyuruh mereka menjauhi banyak prasangka, sehingga mereka tidak membiarkan dirinya dirampas oleh setiap dugaan, dan keraguan yang dibisikkan oleh orang lain disekitarnya. Ayat ini memberikan alasan bahwa sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.
Karena menurut Beliau tatkala larangan didasarkan atas banyak berprasangka, sedangkan aturannya menyebutkan itu merupakan dosa, maka pemberitahuan dengan ungkapan ini intinya agar manusia menjauhi buruk sangka apapun yang akan menjuruskan ke dalam dosa, sebab ia tidak tahu sangkaannya yang manakah yang menimbulkan dosa.
Hal yang serupa pula diungkapkan oleh Ahmad Al-Maraghi di dalam Tafsirnya Al-Maraghi, beliau lebih mengkhususkan kepada kaum muslimin , sedangkan Sayyid Quthub menggambarkan lebih umum.
Ahmad Maraghi bahkan menambahkan tentang alasan larangan berprasangka melalui untaian firman Allah di dalam surat Al-Fath ayat 12 yang berbunyi:

…dan kamu Telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.
Menurut Hamka prasangka adalah tuduhan yang bukan-bukan, persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata tuhmat yang tidak pada tempatnya. Dengan prasangka tersebut dapat memutuskan tali silaturrahmi di antara kaum muslimin sehingga Allah SWT mengharamkan prasangka yang tidak beralasan. Hal ini sesuai pula di ungkapkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir yang diringkas oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i.
Menurut M. Quraish Shihab kalimat hai orang-orang yang beriman jauhilah dengan upaya bersungguh-sungguh banyak dari dugaan yakni prasangka buruk terhadap manusia yang tidak memiliki indicator memadai, sesungguhnya sebagian dugaan yakni tidak memiliki indicator itu dosa.
Lebih lanjut penulis akan menukilkan penafsiran kata di atas untuk lebih memperjelas pemahamannya sebagai berikut:
Kata Ijtanibuu / Banyak terambil dari kata Janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauh. Sedangkan penambahan huruf ت / ta pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata ijtanibu berarti bersungguh-sungguh. Upaya sungguh-sungguh dalam menjauhkan prasangka buruk. Sedangkan kata katsiran / banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh adalah banyak, dan enam dari sepuluh adalah kebanyakan.

M.Quraish Shihab melanjutkan penafsiran potongan ayat selanjutnya yaitu kata /tajassasu terambil dari kata / jassa. Yakni upaya, mencari tahu dengan cara sembunyi. Dari sini mata-mata dinamai / jaasus.
Upaya melakukan tajassus dapat menimbulkan meranggangkan hubungan, karena pada prinsipnya ia dilarang. Ini tentu saja bila tidak ada alasan yang untuk melakukannya. Selanjutnya perlu dicatat bahwa karena Tajassus merupakan kelanjutan dari dugaan, sedang dugaan ada yang dibenarkan dan ada yang tidak dibenarkan, maka Tajassus pun demikian. Ia dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan Negara atau untuk menampik mudharat yang sifatnya umum. Karena itu memata-matai atau pelanggar hukum, bukanlah termasuk Tajassus yang dibenarkan. Adapun Tajassus yang berkaitan dengan urusan pribadi seseorang dan hanya didorong untuk mengetahui keadaannya, maka ini sangat terlarang.
Kata / yagrtabu menurut Beliau terambil dari kata / gribah yang berasal dari kata / graib yakni tidak hadir. Gribah adalah menyebut orang lain tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa walaupun keburukan yang diungkap oleh pengunjing tadi memang disandang oleh objek gribah, ia tetap terlarang.
Larangan mencari-cari kesalahan orang lain dan gribah juga menurut Sayyid quthub hukumnya haram. Menurut beliau pemberantasan ini sejalan dengan tujuan Al-Qur’an yang hendak membersihkan akhlak dan kalbu. Namun hal ini memiliki dampak yang lebih jauh daripada persoalan tersebut, yaitu menjadi salah satu prinsip islam yang utama dalam system kemasyarakatan dan dalam penerapan serta aplikasi hukum.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitabnya ringkasan tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, bahwa mencari-cari kesalahan orang lain dan gribah tidak dibenarkan dalam islam.
Mengunjing menurut Hamka adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Bahkan menurut beliau hal ini merupakan mata rantai dari kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia kebusukan seseorang ketika orang itu tidak ada, tiba-tiba saja dia pun datang; maka pembicaraan pun berhenti dengan sendirinya, lalu bertukar sama sekali dengan memuji, dan menyanjungi tinggi. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut.

Beliau melanjutkan penanfsiran potongan ayat selanjutnya yaitu apakah suka seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Artinya bahwasanya membicarakan keburukan seseorang ketika dia tidak hadir, samalah artinya dengan memakan manusia yang telah mati, tegasnya makan bangkai yang busuk. Maka jijiklah kamu kepadanya. Dan hal ini sesuai pula dengan apa yang disebutkan oleh para mufassirin yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini di dalam Tafsir mereka.
Maka bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah penerima taubat, lagi maha penyayang. Penafsiran ayat ini menurut mereka adalah jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertaubatlah dari kesalahan yang hina itu disertai dengan penyesalan dan bertaubat. Allah senantiasa membuka pintu kasih Sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 12 surat Al-Hujarat ini mengandung larangan dan perintah bagi kaum mukminin dan mukminat sebagai berikut:
a. Larangan berbanyak-banyak prasangka (curiga)
b. Larangan mencari-cari kesalahan dan mengunjing satu sma lain.
c. Perintah bertakwa
3. Isyarat pendidikan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 13
Selanjutnya, peneliti akan menyebutkan penafsiran mereka terhadap ayat 13 untuk mempermudah peneliti dalam membahas dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.
Asbabun Nuzul ayat yang kedua belas ini berkenaan dengan Abi Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadhah. Bani Bayadhah berkata: “Wahai Rasulullah, pantaskah kalau kami mengawinkan putra-putri kami kepada berkas budak-budak kami? Secara tegas ayat ini memberi penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dan orang merdeka.
Allah mengabarkan kepada manusia bahwa dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa dan telah menjadikan dari jiwa itu pasangannya. Jiwa yang dimaksud adalah Adam. Allah jug telah menciptakan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling kenal mengenal di antara satu dengan yang lainnya dan yang paling mulia disisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa.
Ahmad Al-Maraghi menafsirkan potongan ayat 13 di atas sebagai berikut: hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari Adam dan Hawa. Maka kenapakah kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersaudara dalam nasab dan sangat mengherankan bila saling mencela sesama saudara atau saling mengejek atau panggil-memanggil dengan gelar yang jelek.
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal yaitu agar tercapai Ta’aruf “saling kenal” di antara mereka.
M. Quraish Shihab menafsirkan kalimat Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai berikut:
Adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusai derajat kemanusiaannya sama disisi Allah, tidak ada perbedaan di antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan satu suku dengan suku yang lain. Tidak perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan ayat terakhir ini yakni Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertakwa. Karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan agar menjadi manusia yang termulia di sisi Allah.

Dan kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah supaya kamu kenal-mengenal, yakni saling kenal, bukan saling mengingkari. Sedangkan mengejek, mengolok-olok dan mengunjing menyebabkan terjadinya saling mengingkari.
Kata menurut Ahmad Maraghi di dalam kitabnya Tafsir Al-Maraghi adalah jamak dari yaitu suku besar yang bernasab nenek moyang, seperti suku Rabi’ah dan Muhdar. Sedang kabilah adalah lebih kecil lagi, seperti kabilah bakar yang merupakan bagian dari Rabi’ah, kabilah Tamim yang merupakan bagian dari Muhdar.
Hal serupa juga ditafsirkan oleh Hamka, bahkan beliau merincikan tentang proses pembentukan janin sebagaimana yang telah kita ketahui bersama yaitu sebagai berikut:
Maka tidak adalah manusia di dalam ala mini yang tercipta melainkan dari pencampuran antara laki-laki dan perempuan, persetubuhan yang menimbulkan berkumpulnya dua kumpulan mani (khama) jadi satu, 40 hari lamanya menjadi darah, empat puluh hari lamanya menjadi ‘Alaqah. Setelah tiga kali empat puluh hari mulai dari Nuthfah, ‘Alaqah dan Mudghrah, jadilah ia manusia yang ditiupkan nyawa kepadanya dan lahirlah ia kedunia.
Dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Yaitu bahwasanya anak yang mulanya setumpik mani yang berkumpul bersatu padu dalam satu keadaan belum Nampak jelas warnanya tadi, kemudian jadilah ia berwarna menurut keadaan iklim buminya, hawa udaranya, letak tanahnya, peradaran musimnya sehingga timbullah berbagai warna wajahnya dan diri manusia dan berbagai pula bahasa yang mereka pakai terpisah di atar permukaan bumi dalam keluasannya, hidup mencari kesukaannya sehingga dia pun berpisah berpecah, dibawa untung masing-masing, berkelompok karena dibawa oleh dorongan dan panggilan hidup, mencari tanah yang sesuai dan cocok, sehingga lama-kelamaan hasillah apa yang dinamai bangsa-bangsa dan kelompok yang lebih besar dan rata, bangsa-bangsa tadi terpecah lagi menjadi suku-suku dalam ukuran lebih kecil dan terperinci.
Selanjutnya Hamka menafsirkan potongan ayat 13 yang artinya Sesungguhnya yang paling mulai di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Penjelasan penggalan ayat ini bagi manusia adalah bahwasanya kemulian sejati yang dianggap bernilai oleh Allah, yang lainnya tidak adalah kemulian hati, kemulian budi pekerti, kemulian perangai, dan ketaatan kepada ilahi.
Penafsiran yang senada juga diungkapkan oleh Sayyid Quthub di dalam kitabnya, tetapi beliau berpendapat bahwa kemulian yang hakiki adalah kemulian yang datang dari Allah dan ia tidak menafsirkan kemulian itu dari hati.

Ujung ayat ini mereka, kalau diperhatikan dengan seksama maka nampaklah peringatan lebih dalam lagi bagi manusia yang silau matanya karena terpesona oleh urusan kebangsaan dan kesukuan, sehingga mereka lupa bahwa kedua-duanya bukanlah untuk dibanggakan dengan bangsa atau suku yang lain melainkan untuk saling kenal-mengenal.
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 13 di atas surat Al-Hujarat mengandung pengertian antara lain yaitu:
a. Hikmah perbedaan dalam penciptaan
b. Persamaan derajat (egaliter)
B. Nilai–Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat Al-Hujarat Ayat 11-13
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pembinaan dan pemelukan Islam secara komprehensif. Agar penganutnya memikul amanat dan yang dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus dimaknai secara rinci, karena itu keberadaan referensi atau sumber pendidikan Islam harus merupakan sumber utama Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
A. Metode Pembinaan Akhlak
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai pendidikan yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 11-13 meliputi nilai pendidikan menjunjung kehormatan kaum Muslimin, nilai pendidikan taubat, nilai pendidikan positif thinking (husnudhdhan), nilai pendidikan takwa, nilai pendidikan ta.aruf dan nilai pendidikan egaliter (persamaan derajat).
Allah telah membekali manusia dengan kemampuan untuk belajar dan mengetahui sebagaimana firman-Nya didalam surah Al-‘Alaq ayat 3-5 yang atinya : “Bacalah dan Tuhanmulah yang maha pemurah, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”. Dan juga firmal Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 31-32, yang artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada adam nama-nama ( benda ) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu Allah berfirman : sebutkanlah kepada-Ku nama –nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.Meraka menjawab : maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah ajarkan kepada kami….”. Dan juga firman Allah didalam surah An-Nahlu ayat 78, yang artinya : “…dan Dia member kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.
Agar nilai pendidikan tersebut dapat diaplikasikan dengan baik maka diperlukan sebuah metode. Seorang pendidik harus dapat memilih dan menggunakan metode secara tepat. Adapun metode yang dapat digunakan seperti yang telah dikemukakan meliputi metode keteladanan, metode pembiasaan, metode memberi nasihat, metode motivasi dan intimidasi, dan metode peruasi .
Pada dasarnya, metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum Muslimin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk ilahi dan konsep-konsep pendidikan Islam.
Berbicara mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak mulia. Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa akhlak tidak perlu dibinan. Menurut aliran ini akhlak tumbuh dengan sendirinya tanpa dibina. Akhlak adalah gambaran bathin yang tercermin dalam perbuatan. Pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras serta sungguh-sungguh. Menurut Imam Ghazali seperti dikutip Fathiyah Hasan berpendapat .sekiranya tabiat manusia tidak mungkin dapat dirubah, tentu nasehat dan bimbingan tidak ada gunanya. Beliau menegaskan .sekiranya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan niscaya fatwa, nasehat dan pendidikan itu adalah hampa.
Namun dalam kenyataanya di lapangan banyak usaha yang telah dilakukan orang dalam membentuk akhlak yang mulia. Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak akan semakin memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih. Karena Islam telah memberikan perhatian yang besar dalam rangka membentuk akhlak mulia. Akhlak yang mulia merupakan cermin dari keimanan yang bersih.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, metode diartikan dengan cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun metode pendidikan akhlak adalah:
1. Metode Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan .
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulallah dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil guna. Abdullah Ulwan misalnya mengatakan bahwa .pendidik akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya .
Keteladanan yang baik pula akan membawa kesan positif dalam jiwa seseorang. Orang yang paling banyak diikuti oleh anak adalah orang tuanya dan guru. Mereka pulalah yang kuat menanamkan pengaruhnya kedalam jiwa anak.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW, memerintahkan agar orang tua atau guru atau orang yang menjadi panutan ber bersikap jujur dan menjadi teladan kepada anak atau orang lain yang mengikutinya karena nanti akan di cap sebagai pembohong. Hal ini sesuai benar dengan hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah yang dikutip oleh Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid didalam bukunya Cara Nabi Mendidik Anak yang artinya :
Barang siapa berkata kepada anaknya “kemarilah”! ( nanti kuber sesuatu ), kemudian tidak diberi maka dia adalah pembohong. Dan hadits ini juga dikutib oleh Abdullah Nashih Ulwan didalam bukunya Pendidikan Anak dalam islam.
Orang tua, guru dan orang yang menjadi panutan dituntut agar menjalankan segala perintah Allah SWT, dan sunnah Rasul SAW, menyangkut ucapan dan perbuatan.karena anak, murid dan orang mengikuti panutannya melihat mereka.Kemampuan untuk meniru, secara sadar atau tidak sadar, sangat besar. Tidak seperti yang kita duga, namun kita sering memandangnya hanya sebagai makhlak kecil atau pengikur belaka.
Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak dan orang yang mengikuti adalah seorang peniru yang ulung dan tidak mempunyai pendirian. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal.


2. Metode Pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh Al-Quran dalam memberikan materi pendidikan adalah melalu kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negative. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.Ia menghemat banyak sekali kekuatan manusia, karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang pekerjaan, berproduksi dan kreativitas lainnya. Bila pembawaan yang merupakan kebiasaan tersebut tidak diberikan Allah kepada manusia, tentu mereka sebagaimana yang ketahui akan menghabiskan hidup mereka hanya untuk belajar berjalan, berbicara dan sejenisnya.
Tetapi, disamping pembawaan mempunyai kedudukan yang amat penting didalam kehidupan manusia, ia juga dapat dirubah menjadi factor penghalang yang besar, bila ia kehilangan penggeraknya dan berubah menjadi kelambanan yang memperlemah dan mengurangi reaksi jiwa.
Al-Quran menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu iameubah seluruh sifat-sifat baik baik menjadi kebiasaan tanpa terlalu berat, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa mnemukan banyak kesulitan. Selain itu,Al-Quran juga menciptakan agar tidak terjadi kerutinan yang kaku dalam bertindak dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin di capai dengan kebiasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah dalam satu hubungan yang dapat mengalirkan berkas cahaya kedalam hati sehingga tidak gelap gulita. Sementara itu, Muhammad Quthub dengan analisanya terhadap ajaran Islam dalam hubungan dengan kebiasaan mengatakan bahwa setiap kebiasaan tidak ada hubungan dengan asas-asas konsepsi, akidah dan hubungan dengan Allah, telah digunting oleh islam secara radikal terlebih dahulu, karena ia tak ubahnya seperti borok-borok busuk yang ada di badan yang harus dibuang, bila tidak, hidup akan berakhir.
Adapun Pembiasaan menurut Hery Noer Aly merupakan .proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah caracara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir tidak disadari oleh pelakunya) .
Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Maka diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.
3. Metode Memberi Nasehat
Abdurrahman al-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat .
Maka dalam memberikan penjelasan dan kebenaran diperlukan juga teknik yang baik dan selaras dengan keadaan orang yang mendengarkan nasehat, seperti memilih waktu yang tepat untuk menasehati. Maka dalam hal ini, Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid mengatakan, ada tiga waktu yang di ajukan oleh Rasulullah SAW, kepada kita untuk memberi nasehat kepada siapa saja termasuk anak-anak.Pertama Saat jalan-jalan atau di atas kendaraan, kedua, Waktu makan, ketiga, Waktu sakit.
Untuk Lebih jelasnya peneliti akan memberikan gambaran atau penjelasan seadanya untuk memperdalam pemahaman, yaitu: Saat berjalan-jalan atau di atas kendaraan, Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang dikutib oleh Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid didalam bukunya Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli, yang dituturkan oleh Ibnu Abbas saat bersama Beliau dalam perjalanan menaiki seekor baghal yang dihadiahkan kepada Beliau oleh Kisra.Ibnu Abbas dibonceng dibelakang, setelah berjalan beberapa lama rasulullah SAW menoleh kebelakang dan bersabda “wahai anak muda!, saya ya Rasulullah, jawabnya; Jagalah Allah, kamu pasti dijaga-Nya!”, Sabda Rasulullah.
Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan kisah kisah Qur.ani, baik kisah Nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik.
4. Metode Motivasi dan Intimidasi
Metode motivasi dan intimidasi dalam dalam bahasa arab disebut dengan uslub al-targhib wa al-tarhib atau metode targhib dan tarhib. .Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya .
Metode ini akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan meyakinkan pihak yang mendengar. Oleh hendaknya pendidik bisa meyakinkan muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas memperhatikannya.
Sedangkan tarhib berasal dari rahhaba yang berarti menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamya sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah .
Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang ada dalam psikologi belajar disebut sebagai law of happines atau prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar. Sedang metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan sebagaimana yang digambarkan oleh Muhammad Quthub yang dikutib oleh Abuddin Nata dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam sebagai berikut : Bila teladan dan nasehat tidak mampu, maka pada waktu itu harus di adakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan tditempat yang benar, tindakan tegas itu adalah hukuman.
5. Metode Persuasi
Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekuatan akal. .Penggunaan metode persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam membedakan antara yang benar dan salah serta atau yang baik dan buruk .
Metode ini juga diperhatikan oleh Al-Quran dalam mendidik daln mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengatahuan mereka terhadap suatu masalah. Perintah Allah dalam hal ini agar kita mengajak kejalan yang benar dengan hukmah dan mau’izah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi atau berpersuasi dengan cara yang paling baik ( QS.An-Nahlu {16}ayat 125 ). Selanjjtnya terdapat pula ayat-ayat yang artinya Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik...( QS. Al-Ankabut {29}ayat 45 ).
Penggunaan metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka terhindar dari meniru yang tidak didasarkan pertimbangan rasional dan pengetahuan.
6. Metode Kisah atau cerita
Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik manusia agar mengambil pelajaran dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian tersebut merupakan kejadian yang baik, maka harus diikutinya, sebaliknya apabila kejadian tersebut kejadian yang bertentangan dengan agama Islam maka harus dihindari.
Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi suatu cerita, dan menyadari pengaruhnya yang begitu besar terhadap perasaan, oleh karena Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.
Metode ini sangat digemari khususnya oleh anak kecil, bahkan sering kali digunakan oleh seorang ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi metode ini disampaikan oleh orang yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri. Namun perlu diingat bahwa kemampuan setiap murid dalam menerima pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesulitan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, hendaknya setiap pendidik bisa memilih bahasa yang mudah dipahami oleh setiap anak. Lebih lanjut an-Nahlawi menegaskan bahwa dampak penting pendidikan melalui kisah adalah:
Pertama,kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa cerminan kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap pembaca akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah tersebut sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.Kedua,interaksi kisah Qur.ani dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan realitasnya tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh al-Qur.an kepada manusia di dunia dan hendak mengarahkan perhatian pada setiap pola yang selaras dengan kepentinganya.Ketiga,kisah-kisah Qur.ani mampu membina perasaan ketuhanan melalui cara-cara berikut: 1) Mempengaruhi emosi , seperti takut, perasaan diawasi, rela dan lain-lain. 2) Mengarahkan semua emosi tersebut sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. 3) Mengikutsertakan unsure psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita sehingga pembaca, dengan emosinya, hidup bersama tokoh cerita. 4) Kisah Qur.ani memiliki keistimewaan karena, melalui topik cerita, kisah dapat memuaskan pemikiran, seperti pemberian sugesti, keinginan, dan keantusiasan, perenungan dan pemikiran
Selain metode-metode tersebut di atas terdapat metode-metode lainnya antara lain metode amtsal, metode Ibrah dan Mauizah, metode tajribi (latihan pengalaman) dan metode hiwar.














BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akhlak merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga baik buruknya seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam berprilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika Al-Qur’an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman bathin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan.
Nilai – nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 11-13 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nilai pendidikan menjunjung tinggi kehormatan kaum Muslimin, mendidik manusia untuk selalu mengharagai dan menjaga kehormatan mereka. Dengan demikian akan terwujud kehidupan masyarakat yang harmonis.
2. Nilai pendidikan taubat mendidik manusia agar senantiasa mensucikan jiwa mereka. Sehingga wujud dari taubat dengan beramal shaleh dapat dilaksanakan dalam kehidupannya.
3. Nilai pendidikan husnudhdhan mendidik manusia untuk selalu berfikir positif agar hidup menjadi lebih produktif, sehingga energy tidak terkuras hanya untuk memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya.
4. Nilai-nilai pendidikan ta’aruf mendidik manusia untuk selalu menjalin komunikasi dengan sesama, karena banyaknya relasi merupakan salah satu cara untuk mempermudah datangnya rezeki.
5. Nilai pendidikan egaliter mendidik manusia untuk bersikap rendah hati, sedangkan rendah hati merupakan pakaian orang-orang yang beriman yang akan mengangkat derajatnya di sisi Allah SWT.
Dengan demikian surat Al-Hujarat ayat 11-13 ini memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang berorientasi kepada terwujudnya manusia yang shaleh baik secara ritual maupun sosial.
B. Saran
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang tidak hanya mengedepankan sisi kognitif saja, lebih dari itu, adalah aspek sikap (afektif). Oleh karenanya, perlu adanya usaha untuk memotivasi dan mendukung pembentukan pribadi Muslim yang tangguh (pemeluk agama yang taat) dengan berpedoman kepada Al-Qur’an.
Tercapainya pendidikan Islam tersebut sangat tergantung kepada tekad, semangat dan kinerja para pendidik agama Islam itu sendiri, karena hanya dengan tekad dan semangat yang kuatlah akan menunjang serta mendorong tercapainya hasil yang sempurna. Hal ini tentu harus di dasari oleh kemampuan-kemampuan dasar sebagai pekerja professional. Sehingga secara terpadu dapat mewujudkan tujuan pendidikan (Islam) seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka penanaman nilai akhlak harus diterapkan dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode pembinaan pendidikan akhlak yang meliputi menjunjung kehormatan kaum Muslimin dapat disampaikan dengan metode keteladanan, metode nasihat, metode kisah dan metode tarhib. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat (ceramah). Pendidikan husnudhdhan dapat dilakukan dengan metode keteladanan, metode nasihat dan metode pembiasaan. Pendidikan ta’aruf dapat dilakukan dengan nasihat, kisah dan pembiasaan. Pendidikan ta’aruf dapat dilakukan dengan ceramah, nasihat, keteladanan dan metode kisah.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan metode-metode lain sebagai penerapannya. Karena setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam menyampaikan materi kepada peserta didik hendaknya menggunakan beberapa metode, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
Tentunya peranan orang tua sebagai pendidik utama tidaklah kalah pentingnya dalam mewujudkan proses belajar mengajar dengan baik. Oleh karena itu, perhatian keluarga terhadap anaknya dalam mempelajari Al-Qur’an termasuk memahami kandungannya harus ditanamkan sejak dini, walaupun dalam ukuran yang sangat sederhana (sesuai dengan kemampuan berfikir anak). Sehingga nilai Al-Qur’an yang agung dapat terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.






DAFTAR PUSTAKA
Abarsyi, Muhammad Athiyyah, Dasar-dasar Pendidikan Islam, terj, Bustami Abdul Ghani, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.III, 1994.
Aly, Hery, Noer. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Mulia, Cet. I,1999.
Amini, Ahmad, Agar tak Salah Mendidik, Jakarta: al-Huda, Cet.I,2006
Anis, Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasith, Mesir: Darul Ma’arif,1972.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan Masyarakat, Bandung:CV.Diponegoro, Cet.II, 1992.
An-nawawi, al-Adzkar, Libanon: Dar al-Mishriyah, Cet.II,1993.
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta:Grafindo Persada,Cet.IV,1994
Baraja, Umar Bin Ahmad, Akhlak lil Banin, (Surabaya, Ahmad Nabhan, tt), Juz II.
Az-Zahabi Imam, Mukhtashar Shahih Bukhari terj, Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani,2002
Darajat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, Cet.II,1995.
Ghazali, Muhammad, Berdialog dengan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.IV,1999.
Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin, terj, Moh.Zuhri dan dkk, Semarang:CV.Asy-Syfa’,2003
Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional, 1987.
Hakim, Imam, Mustadrak alash Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutb al-Arabi, tt), Juz I.
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, Beirut:al-Maktabah al-Ashriyah, Jilid IV, 2000.
Katsir, Ibn, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Quranul Karim, Jilid III,tt.
Shihab, M Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,Cet.I, volume 13,2003.
Sulaiman, Fathiyah, Hasan, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, Bandung: al-Ma’arif,Cet.I,1986.
Syafe’i,Rahmat, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, Bandung: Pustaka Setia, Cet.II,2003.
Syah, Muhibin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosda Karya,2004.
Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, Jakarta: CV Misaka Galiza,Cet.I,1999.
Syaukani, Muhammad bin Ali, Fathul Qadir, Beirut: Darul Ma’rifah, tt.
Utsaimin, Muhammad, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta: Darul Falah, Cet.I, Jilid I, 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, Edisi II.
Turmudzi, Imam, Jamiut Tirmidzi, (Riyadh: Darussalam, 1999), hal.449.
Wan Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat Islam dan Praktek Pendidikan Islam Seyd M. Naquib a-Attas, Bandung: Mizan, Cet.I, 2003.
Khallaf, Abd Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, Cet.IX,1972.
Khattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ter. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet.III, 1996.
Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi, terj, Semarang: Toha Putra, Cet.III,1993.
Mustofa, A.Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, Cet.II, 1999.
Munajid, M.Sholeh, Larangan-larangan yang Terabaikan, terj. Madinah, Dar al-Khudary, 1418 H.
Munawwar, Said Agil Husain, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta:Ciputat Press, Cet.II,2005.
Nata, Abuddin dan Fauzan, Pendidikan dalam Persfektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet.I,2005
________,Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada, Cet.I,2002.
Nawawi, Imam, Riyadush Shalihin, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Noor, Syamsuddin, Rahasia Do’a-Do’a dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Mawardi, Cet.I,2006
Qarwadi, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, Jakarta: Akbar, Cet.I,2004.
Qudamah, Minhajul Qasidin, terj. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet.I,1997.
Qutb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, Jakarta: Gema Insan Press, Cet.I,Jilid X,2004.
Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, Jilid IV, 2000.
Razi, Fakhrur, Tafsir Fakhrur Razi, Beirut: Darul Fikr, Jilid XIV, 1985.
Shadiq bin Hasan, Shahih Muslim, Daulah Qithr, Wizarah Qithr, Wizarah Syu’unil Islamiyah, tt, Juz X.
Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000.
Shiqr, Ahmad, Jamiul Ahadits, Beirut: Darul Fikr, 1994, Juz, VII.


CURICULUM VITAE
1. Nama : Andika Saputra
2. Tempat/Tgl Lahir : Meunasah Mesjid, 05 – 11 – 1984
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Dusun Tgk di Bangka No.8
Desa : Meunasah Mesjid
Kecamatan : Muara Dua
Kab/Kota : Lhokseumawe
Provinsi : Aceh
5. Agama : Islam
6. Kebangsaan / Suku : Indonesia / Aceh
7. Status Perkawinan : Belum Kawin
8. Pekerjaan : Mahsiswa
9. Nama Orang Tua :
a. Ayah : Zainal Abidin (Almarhum)
b. Ibu : Syahrul Bariah
c. Pekerjaan : -
d. Alamat : Gp. Mns Mesjid Kec. Muara Dua Lhokseumawe
10. Pendidikan :
a. MIN Peukan Cunda, Tahun 1996.
b. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8, Tahun 1999.
c. Sekolah Menengah Atar (SMA) Negeri 2, Tahun 2002.
d. Pesantren Darul Mukhlishin, Sampai Sekarang.
e. Mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Tahun 2005 s/d sekarang.
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya perbuat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan seperlunya.
Lhokseumawe, 2009.
penulis