dika blog

dika blog
subhanallah

Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Juni 2010

skip to main | skip to sidebar
LPPBI

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam
Rabu, 28 Januari 2009
Analisa Komparatif Pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

Oleh : Dra. Yulniza, M.Ag

Dorongan terhadap tantangan penetrasi abad ke 19 M yang tarik menarik dengan kondisi objektif umat Islam saat itu, telah mewujudkan artikulatifnya pada pemikiran pembaharuan dua tokoh pembaharuan Islam, yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kedua tokoh ini dengan caranya masing-masing telah mencoba menawarkan dan melontarkan beberapa gagasan pembaharuan. Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam, pengamatan dan penulusuran terhadap kedua tokoh pembaharuan ini akan menjadi menarik, sebab paling tidak, keduanya disoroti lewat kerangka hubungan guru dengan murid.

I. Pendahuluan
Hubungan ini memungkinkan terjadinya persentuhan dan dialog intelektual yang intens di antara keduanya. Hubungan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam bentuk hubungan guru dan murid, pada kenyataannya menghasilkan logika hubungan bahwa tidak selamanya murid itu sama dengan guru. Walaupun gagasan keduanya berakar pada dasar pemikiran yang sama, yaitu semangat kembali pada ajaran ideal al-Qur'an dan Hadits. Namun tampaknya dalam beberapa hal, mereka berbeda dalam refleksi. Perbedaan dalam refleksi itu, nampaknya juga tidak bisa dipisahkan dengan kenyataan bahwa mereka datang dari dan dibentuk oleh tradisi pendidikan, pemikiran dan sosial kultural yang berbeda. Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa perbedaan pemikiran antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tentang ide-ide pembaharuannya.

II. Latar Belakang Intelektual dan Sosio Kultural Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Pada tulisan ini pemakalah akan mengemukakan beberapa hal penting yang melatar belakangi pertumbuhan intelektual kedua tokoh pembaharuan ini. Pembahasan ini rasanya sangat penting, mengingat tidak tertutupnya kemungkinan perbedaan latar belakang intelektual tersebutlah yang menimbulkan beberapa perbedaan sikap dan pandangan pembaharuan yang melontarkan keduanya. Di antara latar belakang intelektual dan sosio kultural Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tersebut dapat dijelaskan.
Pertama, Muhammad Abduh telah terbiasa berfikir rasional semenjak usia muda. Hal ini terlihat dengan ketidak puasannya dengan sistem pengajaran di Thanta 1862 M. Sedangkan Rasyid Ridha kebiasaan berfikir rasionalnya baru muncul setelah membaca majalah al-Urwah al-Watsqa. Terlebih lagi stelah bertemu langsung dan berdialog dengan Muhammad Abduh. Sementara sebelumnya, Rasyid Ridha dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan yang tradisional.
Kedua, Muhammad Abduh mempunyai hubungan yang luas dengan dunia Barat, pandai berbahasa asing, sehingga dia mampu membaca buku-buku dan naskah-naskah dari Barat. Sementara Rasyid Ridha tidak banyak berhubungan dengan dunia Barat, dan kemampuan berbahasa asingnya relatif kurang, jika dibandingkan dengan Muhammad Abduh.
Ketiga, Muhammad Abduh termasuk orang yang liberal dalam memandang aliran atau mazhab, sehingga dia dituduh menganut aliran Mu'tazilah, walaupun dia menentang keras tuduhan tersebut. Nampaknya, hal ini dilakukan semata-mata karena ingin bebas dalam berfikir. Sedangkan Rasyid Ridha dalah pemegang mazhab sampai akhir hayatnya. Dia masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.
Keempat, kondisi sosio kultural dimana Muhammad Abduh menetap di Mesir sangat kondusif untuk menyebarkan ide-ide pembaharuannya. Hal ini disebabkan oleh karena di Mesir sudah banyak ditanamkan ide-ide pembaharuan oleh para pembaharu sebelumnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika sebagian dari masyarakat cukup familiar dengan ide-ide pembaharuan. Termasuk ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Abduh. Sementara itu, kondisi Rasyid Ridha sebelum dia pindah ke Mesir belum banyak bersentuhan dengan ide-ide pembaharuan. Dan kiranya hal ini tidak mendukung sosialisasi ide-ide pembaharuannya. Kondisi ini juga diperparah oleh sikap pemerintah setempat (Turki Usmani) yang terus mengintimidasi Rasyid Ridha. Hal ini disebabkan karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya.

III. Beberapa Pendapat Antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Kalau diperhatikan jauh tentang ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh kedua tokoh ini, akan terlihat adanya perbedaan yang menyangkut refleksi-refleksi pemikiran. Perbedaan yang akan dikemukakan dalam pembahasan ini adalah menyangkut pemikiran mereka dalam bidang politik dan keagamaan.
1. Pemikiran dalam Bidang Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembaharuan dalam bidang politik, yang diperjuangan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan terhadap kewenang-wenangan pemerintah, melalui konstitusi dan undang-undang. Serta pengarahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan serta dominasi Barat.
Akan tetapi dalam hal cara untuk mencapai tujuan tersebut terdapat perbedaan antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Dalam hal ini akan dijelaskan beberapa perbedaan yang menonjol antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
a. Muhammad Abduh
Salah satu pandangan Muhammad Abduh mengenai politik ini, dapat ditelusuri lewat pernyataan Tahrir al-Tawali yang mencoba berbicara pandangan politik Muhammad Abduh. Dalam hal ini, al-Tawali menulis, sungguhpun demikian, dalam tulisan dan ucapannya ia pernah membicarakan hak rakyat untuk memperoleh keadilan dan haknya untuk meluruskan pemerintahan yang salah, karena dipengaruhi oleh hawa nafsu, penyelesaian tentang itu akhirnya ia serahkan kepada perkembangan zaman.
Lebih jauh pemikiran Muhammad Abduh tentang politik ini dapat juga dilihat dari pernyataannya tentang model pemerintahan yang ideal. Menurut Muhammad Abduh, pemerintahan yang ideal itu adalah pemerintahan yang dipegang oleh penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan atas permusyawaratan rakyat. Keanekaragaman baginya tidak menjadi persoalan dalam pemerintahan, bahkan harus direkonsiliasi menjadi umat yang universal. Sementara itu, masyarakat muslim harus diikat oleh cara persaudaraan, keinginan dan tujuan bersama. Menurut Muhammad Abduh, hal ini dapat tercapai setelahn diadakan pembaharuan di bidang sosial dan pendidikan.
Dari pemikiran ini kelihatannya Muhammad Abduh tidak begitu menekankan tentang keharusan bentuk negara yang diinginkannya. Yang terpenting baginya adalah pemerintah itu harus bersikap demokratis, serta sumber daya manusia yang mengisi pemerintahan, baik yang bertindak sebagai pejabat maupun rakyat biasa harus mendapat perhatian yang serius serta dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya. Dengan kata lain, Muhammad Abduh lebih mementingkan sumber daya manusia yang mengisi suatu negara, dengan tidak mempersoalkan wadah atau bentuk negara.
b. Rasyid Ridha
Berbeda dengan Muhammad Abduh, menurut Rasyid Ridha, dalam upaya membangun persatuan dan kesatuan umat, perlu adanya kekuasaan pemerintah dan perlu mengambil suatu bentuk negara tertentu sebagai wadahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution, bahwa Rasyid Ridha menawarkan negara yang berbentuk kekhalifahan. Untuk ini Rasyid Ridha sengaja menulis buku yang berjudul al-Khilafat aw al-Imamah al-Uzhmat. Jabatan khalifah bagi Rasyid Ridha adalah wajib syar'i dan eksistensi khalifah sangat penting dalam rangka penerapan syari'at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan politik dan pemerintahan.
Bagi Rasyid Ridha kekhalifahan ideal adalah seperti yang pernah terjadi dan dialami oleh Khalifah al-Rasyidin. Khalifah bertindak sebagai kepala negara yang mempunyai kekuasaan yang legislatif serta harus mempunyai kemampuan berijtihad. Namun demikian, khalifah tidak boleh absolut dan sewenang-wenang di dalam menjalankan kekuasannya. Karena menurut Rasyid Ridha, sistem khalifah ini juga mesti dibatasi dengan keterlibatan parlemen sebagai wakil rakyat. Lebih jauh sebagaimana yang dikutip oleh Melcolm H. Kerr, Rasyid Ridha memperinci tentang keriteria seseorang khalifah, seperti :
1) Harus seorang muslim yang sudah dewasa
2) Mempunyai kebebasan atau dewasa
3) Mempunyai kemampuan untuk berijtihad
4) Memiliki karakter yang baik
5) Mempunyai keberanian untuk ikut dalam perperangan
6) Seorang yang adil dan bijaksana
7) Mempunyai kesehatan fisik yang baik
8) Keturunan suku Quraisy
Di antara keteria tersebut, Rasyid Ridha lebih menekankan pada syarat yang terakhir, yaitu Khalifah itu keturunan suku Quraisy. Alasan yang dikemukakan adalah banyak riwayat yang mendukung persyaratan ini dan tidak diperselisihkan oleh para Jama Ahlussunnah baik Arab maupun Adam. Karena fanatiknya terhadap suku Quraisy sampai-sampai Rasyid Ridha melupakan prinsip Islam, yaitu asas persamaan. Dalam prakteknya, ketika khalifah menjalankan fungsinya maka ia harus dibantu oleh para ulama dan pemuka masyarakat. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam kenyataannya bahwa khalifah itu dipilih oleh sekelompok pemimpin dan pemuka masyarakat, termasuk para ulama yang berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut, khalifah dipilih oleh para anggota Ahl al-Halli wa al-Aqdhi yang oleh Rasyid Ridha disebut dengan ahl-Ikhtivar. Dengan demikian, rakyat tidak mempunyai hak untuk memilih dan rakyat hanya mentaati hasil pilihan ahl-Ikhtiyar. Tapi anehnya, Rasyid Ridha membenarkan pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Dengan demikian, hak dan wewenang ahl-Ikhtiyar serta batas kekuasannya dengan khalifah menjadi tidak jelas.
Berdasarkan keteria dan eksistensi seorang khalifah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, nampaknya oleh Rasyid Ridha dimaksudkan sebagai upaya mencapai kemajuan di kalangan kaum muslimin baik moril maupun materil, di samping mewujudkan kesatuan dan persatuan umat, atau disebut dengan Ukhwah Islamiyah seperti yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra, bahwa kekhalifahan dapat dianggap sebagai sistem organik religio politik yang didominasi oleh hubungan antara yang sakral dan politis. Sehingga khalifah dapat disebut sebagai figur di dunia yang mengemban amanah Nabi dan khalifah al-Rasyidin dalam memelihara kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.
Dari gambaran sekilas tentang pemikiran tentang Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas, dapat disimpulkan bahwa Muhammad Abduh tidak secara eksplisit berbicara tentang bentuk negara yang dia inginkan. Namun demikian agaknya terdapat kemungkinan yang kuat bahwa Muhammad Abduh menjadikan demokrasi sebagai syarat utama dari bentuk pemerintahan yang diinginkannya. Barangkali dari kenyataan ini dapat dikatakan Muhammad Abduh nampaknya tidak mementingkan bentuk negara. Akan tetapi hal yang terpenting menurutnya adalah bagaimana agar prinsip-prinsip demokrasi dapat diwujudkan dalam suatu negara. Dan sumber kekuasaan bagi pemerintah adalah rakyat, sehingga pemerintahan bertanggung jawab kepada rakyat.
Sementara itu, Rasyid Ridha secara tegas menunjukkan sistem kekhalifahan merupakan bentuk negara ideal yang diinginkannya. Pengalaman sejarah yang pernah muncul pada masa Khulafah al-Rasyidin, dipandangnya sebagai corak pemerintahan ideal yang pernah ada dalam sejarah Islam. Hal inilah yang nampaknya menjadi alasan ulama mengapa Rasyid Ridha memilih kekhalifahan. Dalam prakteknya, seorang khalifah dibatasi oleh parlemen yang terdiri dari ulama dan pemuka masyarakat, selain sebagai pembantu dalam menjalankan fungsinya, juga sekaligus sebagai pengawas dari segala tindakannya.
Mengenai perbedaan tentang pemikiran politik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini Munawir Gadzali berpendapat, bahwa sumbangan Muhammad Abduh kepada pemikiran politik tidak begitu banyak dan tidak utuh. Sedangkan sumbangan Rasyid Ridha pada pemikiran politik lebih banyak dan lebih utuh meskipun dalam bentuk tradisional.
2. Pemikiran dalam Bidang Keagamaan
Berhubungan dengan pemikiran keagamaan, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mempunyai keistimewaan masing-masing. Adanya perbedaan ini lebih banyak bermuara pada perbedaan metode berfikir yang mereka qadakan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa perbedaan pemikiran keagamaan dari kedua tokoh tersebut, antara lain Kedudukan akal dan wahyu, persoalan teologi dan beberapa corak penafsiran al-Qur'an.
a. Kedudukan Akal dan Wahyu
Nampaknya, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha keduanya sangat menghargai akal di samping wahyu. Hanya saja dalam penggunaannya Muhammad Abduh lebih rasional dari pada Rasyid Ridha. Melihat begitu besarnya peranan akal yang diberikan oleh Muhammad Abduh, sehingga Harun Nasution, menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada akal dari Mu'tazilah. Sedangkan Rasyid Ridha masih terikat pada pemikiran tradisional serta pendapat-pendapat masa silam.
Bagi Muhammad Abduh peranan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui kehidupan akhirat, mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan berbuat jahat, mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan berbuat buruk serta membuat hukum-hukum mengenai kewajiban. Sementara itu bagi Rasyid Ridha, akal hanya dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan tidak terhadap persoalan ibadah.
Lebih lanjut Rasyid Ridha mengemukakan, bahwa ijtihad adalah ibadah tidak diperlukan lagi. Akal hanya dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mengandung arti tegas serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan di dalam al-Qur'an dan Hadits.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bagaimana kedudukan wahyu menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh adalah penolong (al-mu'in). Kata ini dipergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurut Muhammad Abduh, wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan hidup di akhirat, untuk mengetahui kesenangan dan kesengsaraan di akhira, serta menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya dan sebagainya. Berdasarkan hal ini terlihat lagi bahwa bagi Muhammad Abduh, fungsi wahyu yang terpenting adalah sebagai penolong dan konfirmasi dalam upaya menguatkan dan menyempurnakan fungsi akal, di samping berfungsi sebagai informasi.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha, fungsi terpenting dari wahyu adalah sebagai informasi. Hal ini terlihat dari pendapat Rasyid Ridha, bahwa akal hanya mengetahui hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan (muamalat), tidak ada azab sebelum diutusnya Nabi dengan membawa wahyu. Dari pandangan ini nampaknya Rasyid Ridha lebih mengutamakan wahyu dari akal walaupun ia juga mengetahui keberadaan pemikiran rasional sekalipun terbatas.
b. Persoalan Teologi
Hal lain yang menunjukkan bahwa pemikiran Muhammad Abduh lebih rasional dari pemikiran Rasyid Ridha terlihat dengan pandangannya terhadap beberapa persoalan teologi antara lain:
Pertama, tentang sifat Tuhan,a pakah termasuk esensi atau atau keluar dari esensi. Muhammad Abduh menjelaskan bahwa hal itu di luar kemauan manusia untuk mengetahuinya. Namun demikian, dalam hal ini Harun Nasution mengemukakan bahwa Muhammad Abduh agak lebih cenderung berpendapat bahwa sifat Tuhan itu termasuk esensi. Kecenderungan ini dapat ditemukan dalam pembahasannya tentang sifat Tuhan di dalam bukunya Hasyiaah 'ala Syarh al-Dawwani li al-'Aqaid al-Adliyah. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat Tuhan itu berada di luar esensi Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat manusia (laisa kamilslihi syaiun). Sepertinya, sifat pemurah dan kasih sayang Tuhan tidak sama dengan sifat pemurah dan kasih sayang yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, tentang balasan di akhirat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa persoalan pembalasan di akhirat harus ditafsirkan secara filosofis, dalam artian bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani. Sedangkan menurut Rasyid Ridha balasan yang akan diterima di akhirat adalah bentuk jasmani. Di sini terlihat bahwa Muhammad Abduh lebih cenderung memakai metode berfikir filsafat yang rasional, sedangkan Rasyid Ridha memakai metode berfikir teolog yang tradisional.
Ketiga, tentang pnafsiran ayat-ayat yang tadassum ataui antrophomorpisme. Dalam hal ini Muhammad Abduh kelihatannya lebih liberal dari Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, tangan, kursi dan lain-lain harus diberi penafsiran, seperti tangan Tuhan ditafsirkan sebagai kekuasaan. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung memberikan pengertian secara harfiyah, sungguh pun tidak sama dengan pengertian yang dimiliki oleh manusia.
c. Beberapa Corak Penafsiran Al-Qur'an
Untuk mengetahui pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam menafsirkan al-Qur'an dapat dilihat dalam tafsir hasil kedua tokoh ini, yaitu Tafsir al-Manar.
Pada awalnya, penulisan tafsir al-Qur'an ini ketika diusulkan oleh Rasyid Ridha, Muhammad Abduh menolak. Dengan alasan, bahwa kisah-kisah tafsir sudah cukup banyak dan sudah saling melengkapi. Karena Rasyid Ridha terus mendeasa dan mengemukakan pengtingnya tafsir itu dalam upaya melakukan pembaharuan, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan kuliah-kuliah tafsir al-Qur'an tapi belum bersedia menyusunnya dalam tafsir al-Qur'an.
Muhammad Abduh mulai memberikan kuliah-kuliahnya pada tahun 1899 M dan dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dicatatnya dan kemudian disusun dalam bentuk tulisan yang sistematis. Apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dari perkuliahannya, kemudian ia serahkan kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa. Setelah mendapat pelajaran, tulisannya dimuat dalam majalah al-Manar, dari sinilah timbulnya tafsir al-Manar. Dalam kitab ini Muhammad Abduh hanya sampai memberikan tafsiran sampai pada surat an-Nisa' ayat 125 dan selanjutnya adalah tafsiran Rasyid Ridha.
Dalam menafsirkan al-Qur'an Rasyid Ridha pada dasarnya mengikuti metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh. Namun seperti yang diakui oleh Rasyid Ridha bahwa terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaan tersebut sebagaimana yang disimpulkan oleh Quraisy Shihab, yaitu :
1) Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi
2) Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3) Penyisihan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang dibutuhkan masyarakat pada masanya, baik yang menyangkut bidang hukum, argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem masyarakat yang berkembang.
4) Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama bidang tersebut.

Perbedaan pertama, keluasan Rasyid Ridha tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan Hadits Nabi. Hal ini membuktikan kemantapan Rasyid Ridha dalam bidang Hadits, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut kekurangan gurunya Muhammad Abduh, yaitu kekurangan dalam bidang Hadits dan ilmu Hadits, riwayat hafalan dan zarh wa ta'dil. Dalam hal ini Muhammad Abduh banyak menolak hadits yang dianggapnya tidak shahih sebagai konsekuensi dari kebimbingan terhadap para perawi. Sementara Rasyid Ridha berusaha untuk menerima Hadits dan kalaupun dia menolaknya bukan atas dasar seperti penolakan Muhammad Abduh, akan tetapi berdasarkan penilaian disiplin ilmu Hadits. Dengan demikian, Rasyid Ridha lebih banyak menerima Hadits dan menerapkannya dalam penafsiran dari Muhammad Abduh,.
Di samping itu, tentang penggunaan Hadits Rasyid Ridha berusaha untuk menyesuaikan pertentangan tentang Hadits dengan al-Qur'an. Sedangkan Muhammad Abduh seperti yang dikatakan oleh Syahathah. Jika pertentangan itu ditemukannya dia akan meninggalkan hadits dan menafsirkan al-Qur'an dengan akalnya.
Perbedaan kedua, keluasan Rasyid Ridha dalam menafsirkan Rasyid Ridha dengan ayat-ayat lain. Hal ini karena Rasyid Ridha banyak terpengaruh oleh Ibn Katsir dan mazhab Snni Salafi yang sangat dikaguminya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kekaguman itu mendorongnya untuk mencetak tafsir Ibn Katsir dan menyebarkan keseluruh negara Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Sedangkan Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur'an lebih banyak dipengaruhi oleh Zamakhsari seorang mufassir penganut Mu'tazilah.
Perbedaan ketiga, menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat. Dalam masalah hukum misalnya, Rasyid Ridha banyak mengagungkan pendapat ulama berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Hal ini merupakan suatu gambaran dari pada propesi Rasyid Ridha sebagai wartwan yang punya hubungan dengan seluruh lapisan masyarakat dan keanekaragaman kepercayaan. Di samping keterikatan Rasyid Ridha terhadap pendapat ulama ulama terdahulu, sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengungkapkan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Dari ketiga perbedaan yang telah dikemukakan memberikan konsekwensi yang mengharuskan adanya pembahasan kosa kata secara luas, susunan redaksi ayat serta pendapat-pendapat para ulama. Sedangkan dalam penafsiran Muhammad Abduh tidak banyak memberikan pembahasan kosa kota, tata bahasa, dan gaya bahasa kecuali dalam batas-batas yang mengantarkan kepada pemahaman kandungan menuju petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Dan inilah yang merupakan perbedaan keempat antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyangkut masalah penafsiran al-Qur'an.


IV. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang perbedaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas, terlihat bahwa tidak selamanya murid itu mengikuti pemikran-pemikiran gurunya. Kenyataan ini terlihat dari metode berpfikir dan beberapa refleksi pemikiran yang dihasilkan keduanya.
Dalam metoda berfikir Muhammad Abduh cendrung liberal, sedangkan Rasyid Ridha masih terkesan tradisional dalam batas pengertian bahwa ia masih terikat oleh mazhab yang dianutnya. Demikian juga dengan refleksi-refleksi pemikiran yang mereka tawarkan, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri. Namun demikian dalam hal-hal tertentu, sebenarnya Rasyid Ridha banyak juga menganut pemikiran gurunya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, sosial kemasyarakatan, paham tentang Sunnatullah serta kebebasan manusia berbuat dan berkehendak.
Terakhir perbedaan yang nampak antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam hubungan guru dengan murid tidak terlepas dari pengalaman dan lingkungan yang melatar belakanginya, baik sosial kultural maupun intelektual.



Diposkan oleh LPPBI di 18:39
0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Tentang LPPBI :

LPPBI
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam (LPPBI) merupakan lembaga non struktural yang menjadi perpanjangan tangan fakultas Ilmu Budaya-Adab dalam rangka pengembangan keilmuan, penelitian dan pengabdian masyarakat. LPPBI bertujuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, diskusi, dan seminar ilmiah bidang kebudayaan Islam serta mewadahi berbagai kegiatan seni dan budaya Islam dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Islam di tengah-tengah masyarakat. LPPBI sekaligus menjadi wadah pengembangan konsorsium budaya sastra, sejarah, seni dan informasi.

Lihat profil lengkapku
Halaman Muka :

* Fiba's Site

KATEGORI TULISAN

* Al-Qur'an-Hadits (3)
* Antropologi (10)
* Arkeologi (3)
* Bahasa Arab (6)
* Dokumentasi (1)
* Filologi (7)
* Filsafat Sejarah (1)
* Fiqh (2)
* Hukum Islam (1)
* Ilmu Informasi (5)
* Ilmu Kalam (2)
* Ilmu Komunikasi (4)
* Ilmu Tasauf (2)
* Kaligrafi (3)
* Lingkungan Hidup (1)
* Linguistik (6)
* Metode Penelitian (1)
* Minangkabau (13)
* Perpustakaan (9)
* Politik (10)
* Sastra Arab (8)
* Sastra Indonesia (4)
* Sejarah (37)
* Sejarah Islam (23)
* Sosio-Linguistik (4)
* Sosiologi (12)
* Tafsir (1)
* Tarbiyah (3)

Makalah-Makalah

* ► 2010 (29)
o ► Juni (6)
+ Kontribusi Islam Dalam Sejarah
+ Ras, Etnik dan Sejarah
+ Dinasti Muwahhidun
+ Sains dan Teknologi di Era Dinasti Umaiyyah
+ Teori Sosial dan Epistimologi Keilmuan Islam
+ Teori Motivasi Dalam Pendekatan Sejarah Budaya
o ► Mei (10)
+ Menakar Nasionalisme BO dan SDI
+ Ruqyah sebagai Media Pengobatan Gangguan Jin Menu...
+ Epistimologi Sebuah Pendekatan Islam
+ Perkembangan Arsitektur Masjid di Dunia Islam
+ Khawarij : Fundamentalisme Awal Islam
+ Orisinalitas Al-Qur'an
+ Kitab Sifat Dua Puluh : Telaah Filologis Naskah Mi...
+ Dinasti-Dinasti Kecil Era Dinasti Abbasiyah
+ Surau Bintungan Tinggi : Tokoh, Tradisi dan Naskah...
+ Dinamika Kaligrafi di Sumatera Barat (Sebuah Penga...
o ► April (3)
+ Keadilan Hukum Waris Islam (Bagian Pertama)
+ Akar Kesadaran Nasionalisme Indonesia
+ Muslim Sebagai Penemu Amerika : Perspektif Sumber ...
o ► Maret (3)
+ Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerinta...
+ Snouck Hourgronje : Kolonialisme yang Berlindung D...
+ Islam dan Kebangsaan : Ideologi Politik PERMI
o ► Februari (5)
+ Kaligrafi Kontemporer Indonesia : Fenomena dan Rea...
+ Perkembangan Kaligrafi di Sumatera Barat
+ "Dalih Pembunuhan Massal" : Menyingkap Tabir Dalan...
+ Transformasi Budaya Pra-Islam Terhadap Arsitektur ...
+ Capaian Peradaban Dinasti Mamluk dalam Bidang Poli...
o ► Januari (2)
+ Studi Kepemimpinan Agama Dalam Masyarakat Sumatera...
+ Interacting With Text : In Term of the Seven Stan...

* ▼ 2009 (154)
o ► Desember (8)
+ Rohana Koedoes dan Rahmah el-Yunusiyah : Dua Wanit...
+ Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi @ Syekh B...
+ Kritik Puisi Arab dalam Lingkar Kritik Sastra : Th...
+ Wacana Keagamaan Dalam Naskah "At-Thariqat An-Naq...
+ في جامعة إمام بنجول الإسلامية الحكومية ببادنج معوق...
+ Perspektif Teori Transisi Demokrasi
+ Karya Taufiq Ismail Dalam Khazanah Kesusateraan Is...
+ Model Kemelekan Informasi "The Big6" Untuk Lingkun...
o ► November (4)
+ Dokumentasi di Indonesia
+ Komunikasi dalam Perspektif Teoritis
+ Prof.DR. Dato' Firdaus bin Abdullah (Tokoh Politik...
+ Urgensi Arsip dan Sistem Informasi Manajemen
o ► Oktober (13)
+ "Threshold Reality" sebagai Salah Satu Proses Per...
+ In the Age of Divorce
+ Islam di Sicilia
+ Perubahan Sosial dalam Perspektif Islam
+ Peranan Klan Al-Qadri dalam Pengembangan Islam di...
+ Problematika Epistimologis Studi Naskah Melayu
+ Komunikasi Pemasaran : Konsep dan Penerapannya di ...
+ Kategori Penerjemahan Lisan
+ Speech Act Theory As An Approach to Discourse
o ► September (1)
o ► Agustus (5)
o ► Juli (3)
o ► Juni (6)
o ► Mei (6)
o ► April (19)
o ► Maret (32)
o ► Februari (15)
o ▼ Januari (42)
+ Periodesasi Perkembangan Ilmu Nahu
+ Fakultas Adab Mencari Format Orientasi Keilmuan Bu...
+ Peraturan Perundang-undangan Zakat di Malaysia
+ Write Corner Drs. H. Raichul Amar, M.Pd
+ Pengajian Islam di Minangkabau Pasca Paderi
+ Budaya Islam Dalam Menghadapi Tantangan Global
+ Potret Politik Gerakan Radikal Islam Asia Tenggara...
+ Peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dalam mengha...
+ Analisa Komparatif Pemikiran Muhammad Abduh dan Ra...
+ Khatidjah Sidek : “Unieng Piaman” yang pernah meng...
+ Sejarah Melayu Campa Menurut Orang Melayu
+ Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu Ikua Darek Keraj...
+ Datuk Seri Utama Rais Yatim : Orang Minangkabau ya...
+ Akar Sejarah Kelahiran Ilmu Nahu
+ Lukisan Kaligrafi : Semangat Religiositas Dalam S...
+ Minoritas Muslim Asia Tenggara
+ Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
+ Qathi dan Zanni dalam al-Qur'an
+ Kondisi Perpustakaan Islam
+ Sintesis Awal Pembaharuan Islam di Minangkabau
+ Semantic Mapping and Note Taking
+ Daya Tahan Politik Dinasti Abbasiyah
+ ظاهرة الترادف في اللغة العربية
+ Kontroversi Pemikiran dalam Kajian Linguistic Arab...
+ Al-Jahiz and the Abbasid Prose Literature
+ الإسلام وتأثيره في الأدب الملايوي
+ Euforia Obama
+ Riwayat Perjuangan Panglima Besar Islam
+ Islam dan Tantangan Global [Kearah Pemahaman Sosio...
+ Menjaga Peradaban
+ Ulama Minangkabau : Syekh Mungka (1857 – 1942 M.)
+ Ulama Minangkabau : Syekh Paseban (1817 – 1937 M.)...
+ Ulama Minangkabau : Syekh Ibrahim Kumpulan (1804 –...
+ Ulama Minangkabau : Djalaluddin Thaib (1895 – 1959...
+ Ulama Minangkabau : Datuk Palimo Kayo (1905 - 1985...
+ Ulama Minangkabau : Ilyas Ja'kub (1903 – 1958 M.)
+ Ulama Minangkabau : Inyiak Rasul (1879 – 1945 M.)...
+ Ulama Minangkabau : Inyiak Parabek (1882 – M.)
+ Lokal-Global Ulama Minangkabau
+ Pahlawan
+ Proposal Penelitian Naskah Kuno
+ Romantisme Sejarah Islam


Irhash's Cluster
Memuat...
Muhammad Ilham BLOG
Memuat...
* Download


Sejarah Perkembangan Dakwah Salafi di Indonesia
Sesungguhnya Fitnah Perpecahan Yang Melanda Dakwah Salafiyah Di Indonesia Dilakukan Oleh Orang-orang yang mengedepankan hawa nafsunya…
Menuduh Syaikh Rasyid Ridha, dan ASBUN.. Juni 1, 2010
Diarsipkan di bawah: Fakta,Hawa nafsu,Man huwa,Manhaj,Nasehat,Salafi,Sururi — Admin inilahfakta @ 8:10 am
Tags: Fitnah, Sururi, Salafi, transkrip kajian, ust abdul hakim abdat, jafar umar thalib

Nukilan Transkrip 9

Berikut ini saya nukilkan transkrip tidak secara keseluruhan, agar pembaca mudah memahami apa yang disampaikan,

Nukilan ini hanyalah mengambil dari transkrip secara lengkap yang sudah diposting disini.

Mulai kita berbicara tentang rasyid ridha,

Saya sejak dahulu, sejak belajar dengan guru saya, bahkan sejak awal tahun 70an, sejak saya remaja umur belasan tahun, saya banyak mendengar, sayid Muhammad rasyid ridha , bahwa dia seorang salafi,dan penyebar manhaj salaf, dan mendakwahkan dakwah ke seluruh dunia ini..

Dan saya cinta..

Jafar melemparkan tuduhan kepada rasyid ridha, orang ini mu’tazili, ini.. saya bilang tidak, mana buktinya…

Dia tidak bisa memberikan bukti waktu itu, mana buktinya,di tafsir almanar, iya dimana,

Dalam tafsir almanar awalnya adalah Muhammad abduh,

Dan diawal perjalanannya betul, rasyid ridha terpengaruh dengan gurunya, wajar seorang murid terpengaruh dengan gurunya.

Kemudian setelah Muhammad abduh itu meninggal,dan dia berdiri sendiri dan dia merdeka, dia banyak menyalahinya, dia banyak membaca kitab-kitab Ibnu taimiyah dan dia yang menyebarkan kitab-kitab ibnu taimiyah,

Bahkan kitab al’itisham karangan al imam assyatibi, yang menerangkan bid’ah secara tuntas itu, di ta’lik, ditahkik oleh rasyid ridha .

Bahkan rasyid ridha sudah menjadi imam, ahlusunnah ketika itu,

Sebelum, para imam kita yang sekarang, seperti syaikh utsaimin, syaikh nashiruddin , syaikh Muhammad nashirudin albani,syaikh binbaaz rahimahullahu ta’ala, sebelum mereka menjadi imam, syaikh rashid ridha telah menjadi imam,bahkan mereka berta’atsar, syaikh albani sendiri bilang langsung,di kitab riwayat hidupnya,.

Bahwa penelitian hadits itu, yang kemudian beliau menjadi ahli hadits besar pada abad ini, itu awal-awalnya, membekas di hati beliau, pembahasan-pembahasan penelitian-penelitian rasyid ridha dimajalahnya almanar.

‘Aalimul kabir,kata syaikh albani, orang ‘aalim besar,

Tidak ada jawaban waktu itu dari Jafar, tidak bisa menjawab hujjah saya.

Kita tidak menafikan kesalahan rasyid ridha, tidak…

Tapi dia salafi….TULEN…

Sekarang katanya dia mulai berubah lagi , Jafar ini… dia apa..

Kenapa..

Ada pemikiran bid’ahnya, katanya, gimana salaf ada pemikiran bid’ah, nggak jelas, apa orang pernah berada ditengah, tidak ahlu sunnah, tidak bid’ah, manzilatun baina manzilatain nanti,

Dia mulai ketakutan ini, karena fatwa ulama, syaikh albani memujinya, dan lain-lain…

Bahkan rektor universitas jami’ah alislamiyah mengarang kitab tebal tentang Muhammad bin abdul wahhab, syaikhul islam,dan disitu dibawakan fatwa-fatwa rasyid ridha, bagaiman perjuangan rasyid ridha, bagaimana perjuangan rasyid ridha dalam menegakkan manhaj salaf, membela Muhammad abdul wahhab, dengan pembelaan yang luar biasa…

Bagaimana Jafar miskiin ilmu ini..

Yang kedua berbicara tentang imam assyaukani, dia berkata kepada saya, imam assyaukani mutazilah,

orang ini suka berbicara seenaknya saja, tanpa pikir lagi apa yang keluar dari kepalanya, jadi tidak tahu apa yang keluar dari kepalanya itu…

Ngomong dulu, baru cari dalil, itu dia, orang dalil dulu baru bicara, ini bicara dulu, oh iya, cari buru-buru dalilnya, ah untuk mencocokkan dengan perkataanya itu, kalalu tidak ketemu, dia rujuk sedikit, sedikit, sedikit, secara langsung tidak mau, malu..

Kosong juga, tidak bisa juga dia menjawab, saya kan dimahad waktu itu, saya ingat perkataan saya, ingat betul, ini disini,Jafar.. saya kalau manggil par, par saja,

ini far ada kitab biografi riwayat hidup al imam assyaukani yang menyebarkan dakwah salaf di yaman

Iya, tapi di tafsir fathul qadirnya, dimana… saya tanya lagi, nih tafsir fathul qadir ada, mana…

Ya, ada disitu, ada 4 jilid orang suruh cari…

Nggak bisa jawab lagi dianya…

Gimana ini ASBUN…

Asal bunyi saja, kita juga tidak menafikan, sama sekali, tidak ada seorang ustadz disini yang mau membela mati-matian rasyid ridha tanpa salah, tidak ada..

Tetapi KITA AKAN BELA, kalau Jafar menuduh macam-macam terhadap Abu Hanifah, rasyid ridha, dan lain-lain..

Karena salah satu manhaj salaf, juga mengadakan difa’ pembelaan besar-besaran terhadap ulama, bukan hanya mengkritik, tapi juga mengadaan pembelaan.

Nggak bisa juga jawab, ah setelah selesai, sekarang saya nasehati dia itu..

ENTE, ini nih saya ngomong ente, saya ngomong bahasa langsung,.. ITU TERHADAP ULAMA, JANGAN SUKA MENCELA

Dan dia ucapkan begini..

JazakAllahu khairan…

Dia ucapkan begitu..jangan… saya jelaskan, saya uraikan tentang ulama itu..

Ada yang asalnya ahlul bid’ah, ada yang asalnya orang baik, uraikan..

Tinggalkan sebuah Komentar

Leave a Reply
Klik di sini untuk membatalkan balasan.

Name (wajib)

E-mail (wajib)

Website

Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.

Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.

Pencarian Artikel
Pencarian untuk:

Menjelaskan kepada para pembaca yang ingin mengetahui sejarah dakwah salafiyah di indonesia.

Yang ternoda oleh orang-orang yang mengedepankan hawa nafsunya, sehingga mencoreng dakwah salafiyah yang mulia,penuh kelemahlembutan, menjadi dakwah yang keras, suka berkata-kata kotor, mudah membid'ahkan kelompok lainnya....

Dan sesungguhnya tahdzir dan hajr yang mereka lakukan didasari oleh hajr dan tahdzir yang dilakukan oleh ustadz mereka dulu, yang sekarang ustadz tersebut telah mereka tinggalkan, tetapi anehnya...

Kenapa hajr dan tahdzirnya tetap mereka pegang sampai saat ini.....

Wahai ikhwah yang belum mengetahui sejarah munculnya fitnah ini, segeralah bertaubat dari menimpakan kedzaliman kepada sesama ahlusunnah, sesama salafiyin, ...

Mudah-mudahan Allah memberikan pencerahan dan pemahaman tentang masalah ini....

Karena tahdzir dan hajr yang sekarang diterapkan mirip sekali dengan tahdzir / hajr yang diterapkan oleh ustadz yang telah kalian tinggalkan tersebut,...

Walaupun ada sebagian pembaca mungkin mengingkarinya.....

Sungguh bagus apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta'ala berikut ini:

وليس لأحد من المعلمين أن يعتدي على الآخر، ولا يؤذيه بقول ولا فعل بغير حق؛

Dan tidak boleh seorang guru, dia melewati batas kepada yang lainnya, dan dia tidak boleh mengganggu, dengan perkataan dengan perbuatan, dengan jalan yang tidak benar,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا‏

Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat, dengan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata, (surat al ahzab: 58)

فإن الساكت عن الحق شيطان أخرس

Sesungguhnya orang yang diam dari kebenaran, adalah syaithan yang bisu,

وليس للمعلمين أن يحزبوا الناس ويفعلوا ما يلقي بينهم العداوة /والبغضاء، بل يكونون مثل الأخوة المتعاونين على البر والتقوي

Tidak boleh atas orang-orang yang mengajar, untuk mengkotak-kotakkan manusia, tasnifunnas, dikotak-kotak, digolong-golongkan manusia ini, dan mereka berbuat dengan melemparkan permusuhan, dan kebencian diantara kaum muslimin, maka hendaklah mereka itu seperti bersaudara, saling tolong menolong diatas perbuatan baik dan takwa,

وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Hendaklah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan baik dan takwa, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan jelek dan permusuhan, (al maidah : 2)

Membongkar Penyimpangan..
[DOWNLOAD REKAMAN Ustadz Abdul Hakim Abdat]

Sejarah Dakwah Salaf, dan awal terjadinya fitnah
[DOWNLOAD REKAMAN Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas]

Pernyataan Sikap
[Download Rekaman pernyataan sikap oleh Ust. Abu Haidar]

Kumpulan Artikel

Kategori

Tulisan Terakhir

* Sms Jawaban Itu…
* Jangan Salah Kaprah Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil
* Pengajian Yang Dituduh Sururi
* Rekomendasi Ustadz Jafar Shalih untuk Rodja
* Rekomendasi Untuk Radio Rodja Jakarta
* Kasus Pemukulan Oleh Orangnya Ust. Jafar.
* ALGOJO DAKWAH
* Assunnah Diganden?
* Surat Tanggapan Atas Penolakan Ajakan Berdialog..
* Surat Penolakan Ajakan Untuk Dialog…


Sering Dibaca

* Rekomendasi Ustadz Jafar Shalih untuk Rodja
* Rekomendasi Untuk Radio Rodja Jakarta
* Pengajian Yang Dituduh Sururi
* ALGOJO DAKWAH
* Kasus Pemukulan Oleh Orangnya Ust. Jafar.
* Sanad Penyebar Fitnah Perpecahan Di Indonesia
* Jangan Salah Kaprah Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil
* Surat Tanggapan Atas Penolakan Ajakan Berdialog..
* Surat Penolakan Ajakan Untuk Dialog…



Jumlah Pencari fakta mencapai

* 17,572 sejak 25 Januari 2010


Langganan Surel

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.



Blog pada WordPress.com. Theme: Rounded by Release.
RSS RSS Komentar XFN WP

Rabu, 16 Juni 2010

Problematika Globalisasi: Peluang dan Tantangan Islam
suatu wacana

Problematika Globalisasi: Peluang dan Tantangan Islam

Globalisasi sebagai realitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan tidak bisa terus-menerus
dipersalahkan. Tidak satu bangsapun yang mampu menolak gelombang dunia ketiga (the third
wave) bernama globalisasi. Permasalahan yang sekarang ini timbul adalah tantangan agar umat
Islam berbuat lebih baik dan bekerja keras dengan potensi yang dimiliki untuk merubah
tantangan menjadi peluang. Globalisasi adalah peluang untuk mewujudkan Islam sebagai
agama rahmatan li al alamin: menciptakan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia.

Abdul Mu' ti
Ketua Umum Pimpinan
Pusat (PP) Pemuda
Muhammadiyah.

"Muslims and Muslim countries are faced with a tremendous and frightening challenge. Globalization in the
form that it takes now is a threat against us and our religion. We should not vent our anger and frustration by
mounting futile isolated violence. Instead, we should plan and execute the development of our ummah
so as to be empowered by information technology and be capable of handling the challenges of the
Information Age. This is our real jihad. I believe we have the talents and the capacity to ensure the success of
this jihad." 1
Sejak satu dasawarsa terakhir, manusia memasuki babak baru dalam sejarah
peradaban manusia: globalisasi. Sebagai sebuah realitas sosiologis, masyarakat dunia
memberikan respon yang berbeda. Ungkapan seperti: Think globally, act locally merupakan
salah satu respon positif terhadap globalisasi yang ditandai oleh perubahan pola berpikir yang
lebih terbuka dan luas (globally) sekalipun dalam menentukan langkah di tingkat lokal. Hal ini
1 Mahatir Mohammad, Globalization and the New Realities, Prime Minister Office, Malaysia, 2002, hlm. 27.
karena apa yang terjadi di suatu tempat yang sangat jauh sekalipun (remote areas) memiliki
kaitan erat (interconnected) dengan belahan dunia lain. Sebagian lainnya memberikan reaksi
negative. Plesetan, globalisasi menjadi "gombalisasi" dalam bahasa Indonesia adalah salah
satu contoh reaksi negative itu. Tidak jarang, globalisasi melahirkan janji-janji palsu dan
realitas pahit bagi sebagian masyarakat.
Globalisasi telah membawa perubahan pola berpikir, tingkah laku dan pandangan
hidup manusia. Seseorang dapat menjelajah dunia dengan hanya duduk didepan magical
box bernama televisi. Mereka menjelajah dunia tanpa pesawat terbang, kapal laut atau sarana
transportasi lainnya. Globalisasi sudah menyentuh hampir seluruh sisi kehidupan, termasuk
agama. Karena itu, globalisasi -sedikit atau banyak telah mempengaruhi umat Islam.
Makalah ini melihat tiga persoalan pokok. Pertama, pengertian globalisasi dan
tatanan dunia baru yang diakibatkan oleh globalisasi. Kedua, dampak negative dan
problematika sosial, ekonomi, budaya dan agama yang ditimbulkan oleh globalisasi. Ketiga,
bagaimana peluang dan tantangan Islam dalam era globalisasi sehingga mampu menjadi
kekuatan rahmatan li al alamin.
Pendekatan yang dan metodologi yang dipakai dalam makalah ini adalah
pendekatan literature dengan analisis kritis (critical thinking) yang dikembangkan dengan
analisis deskriptif, komparatif dan sintesis.
GLOBALISASI: TATANAN DUNIA BARU
Sekarang ini, masyarakat dunia telah memasuki tatanan dunia baru: globalisasi. Menurut
Asghar Ali Engineer, globalisasi bukanlah fenomena baru. Ketika manusia mengadakan
perjalanan dari satu bagian bumi (globe) ke bagian yang lain, saat itulah globalisasi terjadi.
"Globalisation is said to be about connectivity, connectivity with different parts of the globe." 2
Dalam pengertian ini, globalisasi berarti becoming worldwide; internasionalisasi.
Secara umum terdapat lima aspek globalisasi yang saling berkaitan.
2 Asghar Ali Engineer, "Islam, Globalisation and Fundamentalism", Islam and Modern Age, August, 2002, hlm.
1.
"(1) free trade in good and services, ... (2) free movement of capital; (3) free movement of
labor; (4) the technologies that enables and encourage the three other trends; and (5) the possible
convergence of values that the other four aspects of globalization give to rise." 3
Globalisasi terjadi pada hampir semua bidang kehidupan. Sejak tahun 1990-an, telah
terjadi globalisasi ekonomi yang ditandai dengan penandatanganan kerjasama ekonomi
global seperti GATT, NAFTA dan AFTA. Dengan paket-paket perjanjian tersebut dunia
menjadi pasar terbuka (open market) dimana suatu negara tidak boleh melakukan proteksi
dan melarang masuknya modal, tenaga kerja dan produksi dari negara lain.4 WTO, IMF, G3
dan sejenisnya merupakan lembaga donor yang mempercepat terjadinya proses globalisasi
ekonomi.
Disamping globalisasi ekonomi, terjadi pula globalisasi informasi. Ciri paling
noteable dalam era ini adalah revolusi teknologi komunikasi yang sangat menakjubkan. Alvin
Toffler sebagaimana dikutip Azra (1999) menyebutnya sebagai "era informasi" dimana
manusia telah memasuki gelombang peradaban yang ketiga setelah pertanian (gelombang
pertama) dan industri (gelombang kedua). Kemampuan dalam bidang komunikasi adalah
power yang memungkinkan manusia menjelajah dunia.5 Dengan handphone yang hanya
segenggam, manusia dapat "menggengam" seisi dunia. Manusia dapat melakukan kontak
dengan rekannya di negara lain melewati batas-batas territorial dan waktu. Ketika Ronaldo
menyarangkan bola ke gawang Jerman di final Piala Dunia, para fans Brazil di sebuah desa
kecil di Indonesia bersorak kegirangan pada saat yang sama dengan rakyat Brazil Rio de
Janeiro dan belahan dunia lainnya. Teknologi satelit memungkinkan manusia membuka isi
dunia. Terbentuklah global village (desa global) yang melintasi batas territorial negara (state
borderless).
Globalisasi informasi melahirkan tatanan budaya baru: global culture (budaya global)
yang disertai adanya global values (nilai global) dan gaya hidup global (global lifestyle). Tatanan
budaya baru ini terjadi melalui pergaulan antar suku-bangsa baik melalui pertemuan langsung
3 Rodolfo C. Severino Jr. Towards an Asean Strategy of Globalization, CSIS, Jakarta, hlm. 11.
4 Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents, W.W. Norton and Company, New York, London,
2002.
5 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Paramadina, Jakarta, 1999,
baca terutama pada bagian ke empat: Islam, Globalisasi Informasi dan Teknologi
maupun melalui media massa, terutama media elektronik. Film, musik dan life-style masuk ke
berbagai negara melalui siaran TV, radio, video, internet dan media elektronik lainnya.
Interaksi antar budaya tersebut -memang- terjadi secara alamiah (natural) dan sukarela
(voluntary). Meskipun, dalam perkembangannya interaksi tersebut menimbulkan respon yang
berbeda-beda. Terjadi proses akomodasi, asimilasi bahkan resistensi terhadap budaya baru
yang bertentangan dengan budaya "asli".
GLOBALISASI: TATANAN DUNIA YANG TIMPANG
Tidak ada satu negeripun di dunia ini yang mampu membendung arus
globalisasi. Tetapi, globalisasi tidak selalu menimbulkan dampak positif. Salah satu
persoalan yang tidak mudah dipecahkan adalah bagaimana menjadikan globalisasi sesuai
dengan stabilitas sosial dan politik domestik: "ensuring that international economic integration
does not contribute to domestic social disintegration." 6 Globalisasi bukanlah proses yang bebas
nilai (value-free) tetapi sarat dengan nilai-nilai terutama negara penggagasnya: Barat. Karena itu,
konflik terbesar dalam era globalisasi adalah konflik berdasarkan nilai (value based conflics).7
Senada dengan Azra, Huntington dalam The Clash of Civilizations?, menjelaskan
dalam tatanan dunia baru sekarang ini sumber konflik yang paling, fundamental bukanlah
ekonomi atau ideology tetapi budaya. Sangat mungkin, terjadi benturan antar delapan
peradaban besar: Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Slavic-Ortodoks, Amerika Latin dan
Afrika.8 Benturan tersebut disebabkan oleh lima hal:
1. differences among civilizations are not only real; they are basic. Civilizations are differentiated from each other by
history, language, culture, tradition and, most important, religion.
2. the world is becoming a smaller place. The interactions between people of different civilizations are
increasing; these increasing interactions intensify civilization consciousness and awareness of differences
between civilizations and commonalities within civilizations.
6 Dani Rodrick, Has Globalization Gone Too. Far?, Institute for International Economics,
Washington, D.C., 1997, hlm. 2.
7 Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas.
Rajawali Press, Jakarta, 2002, hlm. 17.
8 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, Foreign Affairs, 1993, hlm. 23-24.
3. the processes of economic modernization and social change throughout the world are separating people from
longstanding local identities. They also weaken the nation state as a source of identity. In much of the world religion
has moved in to fill this gap, often in the form of movements that are labeled "fundamentalists".
4. the growth of civilization-consciousness is enhanced by the dual role of the West.
5. cultural characteristics and differences are less mutable and hence, less easily compromised and resolved than
political and economic ones.... Even more than ethnicity, religion discriminates sharply and exclusively among
people. A person can be half-French and half-Arab ... It is more difficult to be half-Catholic and half-
Muslim.9
Meskipun clash tersebut bersifat terbuka, tetapi hampir selalu "dimenangkan" oleh Barat.
Faktor utamanya adalah karena Barat menguasai teknologi dan komunikasi. Akibatnya,
globalisasi seringkali dipahami sebagai proses "westernisasi". Pertama, globalisasi lahir dan
berkembang pesat dari rahim masyarakat Barat. Kedua, kekuatan ekonomi dan politik
memungkinkan Barat untuk "mendiktekan" nilai-nilai dan budayanya kepada negara lain.
Masyarakat Barat memil iki perasaan superior dan anggapan bahwa kebudayaan
mereka lebih baik, universal dan applicable di negara manapun. Disamping karena "realitas"
bahwa Barat lebih maju secara ekonomi, anggapan tersebut juga diperkuat oleh
melimpahnya informasi dari para Orientalist yang cenderung mendiskreditkan budaya lain,
terutama Timur.10
Penetrasi budaya Barat ini sangat jelas terlihat dalam isu-isu kontemporer. Misalnya,
feminisme, HAM dan demokrasi. Penetrasi budaya ini tidak selalu berdampak negative.
Feminisme yang mulai masuk dan berkembang di negara-negara Muslim mampu merubah wacana
dan perlakuan yang lebih baik terhadap wanita dalam masyarakat yang paternalistik dan maledominated.
Begitu pula dengan HAM. Beberapa negara -dengan terpaksa atau sukarelamembentuk
pengadilan HAM sebagai lembaga publik untuk melindungi dan menjamin
terpenuhinya hak-hak azasi manusia. Demokrasi telah menjadi "ideologi" global yang mengakhiri
segala bentuk pemerintahan yang tiranik dan otoriter.
Sayangnya, tidak dapat dipungkiri adanya pemaknaan, ukuran dan praktinya yang stronglywest
sehingga Barat merasa perlu "mengamankan" dengan aksi-aksi politik, ekonomi dan militer.
9 Samuel P. Huntington, Ibid, hlm. 25-27.
10 Brian S. Turner, Orientalisme, Postmodernisme dan Globalisme, terjemah Eno Syafrudien, Riora Cipta,
Jakarta, 2002.
Inilah salah satu sebab mengapa globalisasi tidak selalu "compatible" dan "acceptable" di negaranegara
yang basis kulturnya non-Barat. Globalisasi budaya dan gaya dan gaya hidup Barat yang
memiliki pretensi-pretensi "peradaban universal"11 justru mendorong semakin menguatnya
resistensi budaya lokal dan regional.12
Begitu pula dengan budaya Barat yang sangat permissive, terutama menyangkut
hubungan pria-wanita. Isu seperti free-sex, homo seksual, lesbian, busana dan sejenisnya yang
masuk melalui film dan budaya pop menjadi isu yang tidak mudah untuk diterima di Timur,
terutama negara yang Muslim-based culture. Seiring dengan kemajuan demokrasi dan HAM
orang mulai berani membuka identitas dirinya, termasuk perilaku yang sangat bertentangan
dengan norma dan ajaran agama. Realitas inilah yang menyebabkan sebagian Muslim sangat
critical bahkan apriori terhadap modernisasi dan globalisasi.
Dampak negative globalisasi dalam bidang ekonomi juga sangat jelas. Dengan konsep open
market (pasar terbuka) globalisasi semakin memperkokoh kapitalisme dan membuat
kesenjangan antara negara kaya dengan miskin semakin terbuka lebar. Dengan nada yang
sangat pesimistis, Jose T. Almonte mengatakan: "... globalization will not bring about self-evident general
progress. Indeed, it will sharpen the already- acute inequalities between rich and poor-within countries and between
them." 13
Kesenjangan tersebut sangat nampak dalam beberapa aspek ekonomi. Laporan World
Bank sebagaimana dikutip Almonte menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang
sangat memprihatinkan. Saat ini, perbandingan kekayaan masyarakat yang tinggal di negaranegara
kaya dengan negara miskin adalah 74:1. Pendapatan rata-rata mereka yang bekerja satu hari di
Swiss sama dengan mereka yang bekerja selama satu tahun di Ethiopia. 200 orang terkaya di
11 Menurut Huntington, "peradaban universal" memiliki empat ciri. (1) adanya kesamaan nilai,
"kesadaran moral" dan benar-salah dengan budaya lainnya. Misalnya, pembunuhan adalah perbuatan jahat; (2)
masyarakat yang telah berperadaban, seperti masyarakat yang tinggal di perkotaan, mampu baca-tulis, bukan
masyarakat Barbarian, (3) Davos Culture: pelbagai asumsi, nilai, dan doktrin yang akhir-akhir ini dijalankan oleh
sebagian besar orang (di) Barat dan sebagian orang-orang non-Barat, (4) ide yang dikembangkan adalah
bentuk-bentuk (budaya) Barat dan kebudayaan popular di seluruh dunia, yang lantas menciptakan sebuah
peradaban universal. Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, terjemah M. Sadat Ismail, Qalam,
Yogyakarta, cetakan 5, 2002, hIm. 75-78.
12 Azyumardi Azra, Konflik Baru, Op.Cit., hlm. 15.
13 Jose T. Almonte, Towards an Asean Strategy of Globalization, CSIS, Jakarta, 2001, hlm. 9.
dunia memiliki asset yang lebih banyak dibandingkan dengan 2 milyar orang-orang miskin di
dunia.14
Kesenjangan ekonomi telah menjadi salah satu faktor yang mendorong lahirnya gerakan
fundamentalisme, radikalisme dan sejenisnya di negara-negara berkembang. Sebagaimana
dikemukakan Engineer,15 Bruinessen16 dan Huntington,17 fundamentalism lebih banyak
disebabkan oleh alasan ekonomi dibandingkan dengan alasan teologi dan budaya. Politik
perdagangan minyak Amerika di Timur Tengah merupakan salah satu sebab
munculnya fundamentalisme dan konflik yang tak pernah henti di Timur Tengah.
Dengan ungkapan yang sangat sarkastis, Mahatir mengkritik globalisasi dengan
mengatakan:
"A globalized world is not going to be a very democratic world. A globalized world is going to belong to
the powerful, dominant countries. They will impose their will on the rest. And the rest will be no better
off than when they were colonies of the rich."18
Globalisasi juga menimbulkan masalah lingkungan, kesehatan masyarakat, dan
kriminalitas lintas negara. Secara khusus, Almonte menggambarkan janji globalisasi sebagai "...
pie-in-the-sky, compared to the day-to-day problems global interdependence can bring."19
GLOBALISASI: PELUANG DAN TANTANGAN ISLAM
Problematika dan dampak negative globalisasi memang paling banyak menimpa
masyarakat di negara-negara miskin atau sedang berkembang. Mayoritas negara-negara
Muslim adalah negara-negara miskin dan negara berkembang. Di Asia misalnya, negaranegara
miskin membentang dari Indonesia, Afghanistan, Pakistan, Maladewa, Irak dan
Banglades yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Meskipun beberapa negara seperti
14 Jose T. Almonte, Ibid, hlm. 9
15 Asghar Ali Engineer, "Islam..." Op. Cit. hlm. 2.
16 Martin van Bruinessen, "Muslim Fundamentalism: Something to Understand or to be Explained Away”,
Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 6 (2), hlm. 157-171.
17 Samuel P. Huntington, The Clash ..., Op.Cit., hlm. 26.
18 Mahatir Mohammad, Globalisation..., Op. Cit., hlm. 219
19 Almonte, Op.Cit. hlm. 9.
Brunei Darussalam, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat dan negara Timur Tengah lainnya
termasuk negara yang kaya, tetapi secara politik mereka juga sangat tergantung pada negaranegara
Barat. Salah satu negara Muslim yang mampu berkembang dengan kemandirian dan
kemajuan ekonomi yang cukup menjanjikan adalah Malaysia. Dalam perspektif inilah,
mengapa globalisasi banyak menimbulkan masalah di negara-negara Muslim dan menimbulkan
kesan umum bahwa Islam tidak kompatibel dengan globalisasi.
Secara normative dan histories, Islam justeru merupakan agama yang paling awal
meletakkan fondasi globalisasi. Landasan normative dapat ditemukan dalam banyak ayat yang
menegaskan universalitas misi risalah islamiyah yang dibawa Nabi Muhammad tidak secara
exclusive ditujukan kepada masyarakat Arab melainkan untuk seluruh umat manusia. "Aku
tidak mengutus kamu Muhammad melainkan untuk menebarkan kerahmatan bagi seluruh alam
semesta." (Qs. Al-Anbiya: 107). Di dalam ayat tersebut terdapat tiga hal penting yang
perlu dikemukakan. Pertama, adanya estafet risalah islamiyah dari rasul-rasul Allah kepada
umatnya. Ketika Muhammad sebagai rasul Allah sudah wafat, maka tugas risalah berikutnya
berada di pundak kaum muslimin. Kedua, muslim diwajibkan oleh Allah untuk
mengamalkan ajaran Islam yang dengannya mereka dapat menciptakan kesejahteraan.
Ketiga, pengamalan Islam harus dilaksanakan dimanapun, oleh siapapun tanpa melihat
etnisitas dan batasan geografis.
Dalam perspektif ini, Islam tidak menempatkan superiotas dan privilege terhadap
suku dan bangsa tertentu, tetapi pada kualitas keimanan dan taqwanya: "Wahai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan sehingga kamu tumbuh
menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku agar kamu saling mengenal. Ketahuilah yang terbaik diantara
kamu adalah yang paling bertagwa."(Qs. Al-Hujurat: 13).
Secara historis, Islam memiliki pengalaman yang sangat kaya. Pada abad
pertengahan, Islam dan Muslim mejadi obor yang menerangi kegalapan dunia pada
umumnya dan Eropa pada umumnya. Pengalaman sejarah ini meninggalkan dua akibat yang
sangat manis dan sangat pahit. Kejayaan Islam merupakan romantisme yang sangat manis
untuk dicatat. Tetapi, kekalahan negara--negara Muslim melawan kolonialisme Barat
merupakan kenyataan pahit. Faktor inilah yang melahirkan kebencian abadi (continuous hatred)
dalam diri sebagian Muslim yang sangat anti-Barat.
Fundamentalisme dan radikalisme yang tumbuh di negara-negara Muslim
merupakan reaksi psikologis dari kepahitan sejarah. Melihat kelahiran Fundamentalisme
hanya dari sudut pandang sangatlah tidak tepat. Fundamentalisme merupakan realitas
histories-sosiologis yang sangat kompleks yang lahir dari rahim nasionalisme, rasisme,
sektarianisme dan -juga- agama. Karena itulah, fenomena fundamentalisme tidak hanya
tumbuh dalam kalangan Islam, hampir semua negara yang mengalami akibat buruk
kolonialisme dan -sekarang- globalisasi. Fundamentalisme muncul dari keinginan kuat untuk
melakukan "self-actualisation" (aktualisasi diri); membangun identitas berdasarkan "kekuatan"
yang dimiliki sebagai modal dan basis mempertahankan diri.20 Pengamatan terhadap
munculnya kelompok anti-globalisasi dari satu angle; sebagai konflik Islam vis a vis Barat atau
karena faktor agama sangat bias dan simplisistik.21
Meskipun sangat bisa dipahami, tetapi Fundamentalisme bukanlah cara yang tepat
untuk bangkit dari kekalahan dan melawan hegemoni Barat. Globalisasi tidak dapat
dilawan dengan kekerasan dan aksi teror sebab resikonya sangat berat: kehancuran.
"Umat Islam harus mampu menunjukkan sebuah kearifan global (a global wisdom) pada saat
pihak lain masih bermata dan berhati gelap!"22
Alih-alih melawan Barat, Syafii Maarif justeru menegaskan agar Islam dan Barat
bergandeng tangan dalam meretas masa depan dan mengatasi dampak globalisasi dengan
melakukan empat langkah: (1) mengembangkan political will yang kuat untuk melakukan
kerjasama secara damai dan bermanfaat untuk kedua belah pihak (2) Islam dan Barat sudah
harus mulai bekerjasama untuk mengatasi problem globalisasi dengan mengentaskan
kemiskinan, menghilangkan ketidakadilan, kecurigaan dan segala parktik diskriminasi pada
tingkat lokal dan global (3) menata diri untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan
20 Lihat Martin van Bruinessen, "Muslim Fundamentalism:....", Asghar Ali Engineer, "Islam, Globalization,
...".
21 21Taufik Abdullah, "The Clash of Civilization: A Prognosis of the Future or the Lure of the Past", Studia Islamika,
Vol. 5 (2).
22 Ahmad Syafii Maarif, "Islam Vs. Terorisme", Suara Muhammadiyah, No. 1, Th. Ke 88, 1-15 Januari 2003, hlm.35.
menerima pluralitas sebagai realitas kehidupan masyarakat global (4) melangkah lebih jauh
dari keadaan sekarang ini dengan meningkatkan sikap saling memahami satu sama lain.23
Senada dengan Syafii Maarif, Mahatir Mohammad -sebagaimana dikutip di awal
tulisan ini- mengajak umat Islam untuk melakukan jihad dengan membuang jauh frustasi dan
segala bentuk tindak kekerasan. Jihad yang dimaksudkan Mahatir adalah "...plan and execute the
development of our ummah so as to be empowered by information technology and be capable of handling
the challenges of the Information Age.”24 (... merencanakan dengan baik dan melakukan langkahlangkah
konkrit untuk memajukan umat sehingga mampu menguasai teknologi informasi
dan menjawab tantangan Era Informasi). Inilah langkah rasional yang membuat umat Islam
semakin berwibawa dan terhormat.
Langkah yang lainnya adalah mengembangkan jaringan Islam (Islamic network).
Langkah ini dilakukan dengan menghimpun kekuatan umat Islam yang tersebar di seluruh
dunia. Inilah salah satu manfaat moderisme dan globalisme bagi umat Islam. Kaum Muslim
tidak lagi merupakan dominasi Arab, tetapi sudah menjadi fenomena global. Muslim tersebar
di hampir seluruh penjuru dunia dan tumbuh menjadi komunitas yang sangat diperhitungkan,
bahkan di negara-negara Barat itu sendiri. Tulisan Abdullah Saeed dan Shahram Akbar Zadeh25
mengenai komunitas Muslim di Australia, Amber Haque 26dan Muzaffar Haleem27 mengenai
perkembangan Islam di Amerika serta pengalaman sebagai seorang Muslim Perancis yang
ditulis Tareeq Ramadhan,28 menumbuhkan secercah harapan bahwa Islam akan mampu
berdiri tegak dan menjadi kekuatan global yang mampu memberikan solusi atas
problematika globalisasi.
23 Ahmad Syafii Maarif, "Islam and the Challenge of Managing Globalization", Paper disampaikan dalam The Trilateral
Commission, 2002 Annual Meeting, Washington, D.C., April 5-8, 2002, hlm. 11-12.
24 Mahatir Mohammad, Globalization ..., Op. Cit., hlm. 27.
25 Abdullah Saeed and Shahram Akbar Zadeh (editor), Muslim Communities in Australia, University of New South
Wales, Sidney, 2001.
26 Amber Haque (editor), Muslim and Islamization in North America: Problem and Prospect, A.S. Noorden & Amana
Publications, Kuala Lumpur, 1999.
27 Muzaffar Haleem (editor) The Sun is Rising In The West, A.S. Noorden & Amana Publications,Kuala
Lumpur, 1999.
28 Tareeq Ramadhan, Teologi Islam dan Barat, terjemah Abdullah Ali, Mizan, Bandung, 2002.
Islam akan mampu menjadi kekuatan alternative karena jaringannya yang sangat
luas. Jaringan tersebut dikembangkan dengan saling memberikan bantuan satu dengan
lainnya dalam bentuk yang lebih produktif. Misalnya, bantuan bea siswa dan pelatihan
maupun bantuan ekonomi yang mampu memberdayakan dan meningkatkan umat Islam di
negara-negara berkembang.
PENUTUP
Globalisasi sebagai realitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan tidak bisa terusmenerus
dipersalahkan. Tidak satu bangsapun yang mampu menolak gelombang dunia
ketiga (the third wave) bernama globalisasi. Permasalahan yang sekarang ini timbul adalah
tantangan agar umat Islam berbuat lebih baik dan bekerja kerasa dengan potensi yang
dimiliki untuk merubah tantangan menjadi peluang. Globalisasi adalah peluang untuk
mewujudkan Islam sebagai agama rahmatan li al alamin: menciptakan perdamaian dan
kesejahteraan umat manusia. Wallahu a’lam bi a shawab.*
Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Oleh: andika saputra, S.Pd.I


Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.

Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:

Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).

Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negar

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”

Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:

1. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
2. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
3. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
4. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
5. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
6. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.



Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:

“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”

Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:



“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”



Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).

Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.

Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.

Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.

Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.

Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.

Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.



Reformasi Paradigma Pendidikan

Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.

Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.

Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.

Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa



1. Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.

2 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.

3 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.
Kenapa Muslim Menolak Syariat?
Thursday, 17 Jani 2010 09 :30

WACANA larangan memakai busana ketat bagi wanita muslim di Aceh Barat yang digagas Bupati setempat semakin menuai kontroversi. Ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Anehnya kaum yang menentang wacana tersebut bukan muncul dari sekelompok non muslim, tetapi malah dari kalangan orang Aceh sendiri yang notabene muslim sejak moyangnya. Oleh karenanya, beberapa argumen dan perang urat saraf yang dilontarkan oleh pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap larangan memakai busana ketat sepertinya semakin menarik untuk dikaji dari berbagai perspektif yang berbeda.

Pertama, sudut pandang konstitusi. Legalitas sebuah aturan di Indonesia dituangkan dalam produk hukum yang bersifat hirarkis, di mana hukum di tingkat bawah tidak boleh melanggar hukum yang lebih tinggi. Aturan terhadap larangan memakai busana ketat dituangkan dalam qanun atau peraturan lokal yang lain, sehingga ada yang mengklaim bahwa aturan tersebut melanggar konstitusi karena bertentangan dengan hukum nasional. Pendapat semacam ini tanpa sadar telah mengabaikan Aceh sebagai lex specialist yang memiliki kewenangan menerapkan hukum yang berbeda dengan Hukum Nasional sebagaimana kekuatan hukum yang dimiliki oleh qanun khalwat, judi dan maisir yang telah diterapkan selama sejak pemberlakuan Syariat Islam, dan tetap diakui oleh konstitusi serta tidak menimbulkan penafsiran hukum yang kontradiktif. Bila ditinjau secara lebih jauh, larangan memakai busana ketat bukanlah wacana baru yang ilegal karena aturan tersebut telah lama disahkan dalam Qanun No.11 Tahun 2002 sebagaimana yang termuat dalam pasal 13 ayat 1 dan 2 bahwa: "Setiap orang Islam wajib berbusana islami". Lebih dari itu larangan berbusana ketat malah menyokong implementasi Hukum Nasional yaitu Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang larangan pornografi dan pornoaksi.

Kedua, sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam perspektif ini, orang menganggap bahwa masalah busana adalah ranah privasi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, bahkan oleh Tuhan sekalipun. Bagi yang mencoba mendobraknya dianggap telah melakukan pelanggaran HAM. Dalam doktrin ini, ayat-ayat Tuhan terkadang dikalahkan oleh kepentingan HAM yang dibuat berdasarkan pertimbangan akal manusia. Oleh karenanya kita perlu berhati-hati terhadap isu HAM yang dilontarkan dunia barat khususnya kaum orientalis yang berniat melemahkan keyakinan umat Islam terhadap syari'atnya sendiri.

Namun demikian, alasan pelanggaran HAM ternyata belum bisa menjadi pembenaran terhadap penolakan aturan busana muslimah, sebab alasan tersebut belum begitu sesuai dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri, dimana sebuah implementasi hukum tidak dianggap melanggar HAM apabila digagas dan dilahirkan dalam sebuah Qanun melalui proses panjang yang disepakati bersama serta melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk ulama, LSM, akademisi, eksekutif dan legislatif. Jika tidak, tentu saja dunia ini akan berserak dengan berbagai Undang-undang yang melanggar HAM hanya karena ada yang merasa terganggu dengan penerapan hukum tersebut. Padahal bukan hanya Aceh atau Islam yang mengatur ranah privasi seseorang, bahkan beberapa agama dan Negara juga mengatur hal yang sama, misalnya larangan merokok, memakai shabu-shabu, mengenderai sambil mabuk, larangan pornografi dan pornoaksi, dan sebagainya, lalu apakah semua larangan tersebut juga melanggar HAM?

Ketiga, prinsip demokrasi. Demokrasi saat ini masih saja tampil sebagai pemenang demi melegalkan kepentingan manusia dan mengingkari perintah Tuhan. Namanya demokrasi, seseorang bebas menentukan pilihannya untuk memakai busana muslim atau tidak. Namun pandangan logis lebih setuju bahwa anda tidak pernah bebas saat masuk dalam komunitas tertentu seperti agama, negara, organisasi dan sebagainya. Selalu ada aturan mengikat yang mengatur kehidupan pribadi anda. Jika anda berada dalam komunitas agama Islam, maka sepantasnyalah Al Quran, Hadits, Ijma', Qiyas dan Syari'at Islam berhak untuk memberikan peringatan baik-buruk terhadap busana ketat bahkan membuat aturan dan sanksi semata-mata karena rasa kasihan dan kepedulian terhadap saudara seiman.

Syari'at Islam tidak mungkin dilaksanakan secara kaffah dalam sistem yang bernama demokrasi. Karena hakikat demokrasi ini adalah suara terbanyak tak peduli halal dan haram. Jadi kalau mayoritas bilang jilbab haram, maka sah saja negara menyetujui jilbab haram. Begitu sebaliknya, bila pelacuran dikatakan halal karena ada maslahat di sana yaitu pajak bagi negara, maka demokrasi pun mengesahkannya. Lalu bagaimana dengan larangan busana ketat, apakah kita perlu melakukan voting suara demi menghormati 'tuhan' demokrasi? Tentu saja tidak, karena Syari'at Islam tidak bisa sempurna penerapannya dalam sistem kufur bernama demokrasi. Syari'ah hanya bisa tegak dalam sebuah sistem yang memang sudah ada tuntunannya dalam Islam yaitu Khilafah Islamiyah.

Keempat, prinsip utilitas. Larangan busana ketat dianggap sebagai hal yang tidak perlu diatur secara serius, selain memboroskan waktu juga tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Pandangan ini bertolak belakang dengan manfaat yang dijanjikan Allah dalam Al Quran bahwa Allah akan memberikan kemakmuran terhadap bangsa yang taat, mengeluarkan rezeki dari bumi dan menurunkan rezeki dari langit. Di samping itu busana menunjukkan pribadi seseorang yang memiliki jati diri yang kuat, budaya berbusana ketat juga menunjukkan moralitas suatu bangsa. Membiarkan masyarakat terpuruk dalam krisis moralitas yang berkepanjangan merupakan sikap yang tidak bisa dibenarkan oleh agama dan negara. Biar pun kenyataannya sebagian orang yang berbusana muslim belum tentu berprilaku baik, namun tidak berarti kita harus menyalahkan busananya, namun yang patut kita persalahkan adalah perbuatannya.

Kelima, konflik kepentingan. Hanya demi menyelamatkan kepentingan pribadi atau golongan, seseorang mencoba menghalalkan segala cara untuk menentang larangan busana ketat. Para pedagang yang sering memperoleh omset besar dari hasil penjualan Pakaian Jeans tentu merasa terancam kehilangan langganan jika mereka dipaksa berhenti. Perasaan risih juga menghantui para agen, pimpinan dan karyawan industri pakaian ketat yang bakalan sulit memasarkan produknya ke Aceh lantaran harus berhadapan dengan konsekuensi hukum. Bahkan Pemerintah Pusat sendiri tidak mau ambil risiko dengan berkurangnya pendapatan negara yang bersumber dari bisnis pakaian setan.

Maka wajar saja jika Menteri Dalam Negeri melarang daerah lain untuk meniru apa yang dilakukan Bupati Aceh Barat. Sama halnya dengan beberapa LSM lokal yang selama ini gencar menentang Syari'at Islam, terutama mereka yang memperoleh kucuran dana dari pihak asing anti syari'at (orientalis). Mereka merasa gagal jika tidak mampu memperjuangkan aspirasi tuannya, bisa-bisa bantuan dana tidak lagi mengalir dengan lancar. Yang lebih riskan jika kontrak kerjasama bahkan diputuskan secara total. Maka sangat masuk akal saat sebuah aturan Tuhan dipaksakan, merupakan sesuatu yang lazim jika konflik kepentingan pun tak bisa dielakkan. Hal ini sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap penegakan Syariat Islam di bumi Serambi Mekah biarpun jabatan atau nyawa sebagai taruhannya, ketimbang mempertaruhkan syurga yang dijanjikan Allah terhadap orang-orang yang menegakkan syari'at-Nya.

Jika kita ingin jujur, perintah berbusana muslim sebenarnya memiliki manfaat yang sangat besar dalam tatanan kehidupan agama, sosial, budaya dan kesehatan, yaitu: (a) sebagai nilai indentitas seorang muslim sejati yang mudah dikenali; (b) seorang muslimah tidak diganggu oleh pria jahat karena busana muslimah tidak merangsang syahwat laki-laki untuk berbuat maksiat seperti berzina, memperkosa, berkhalwat, onani dan sebagainya; (c) terciptanya perilaku masyarakat desa dan kota yang sopan, ramah lingkungan, menghargai orang lain dan tidak mengganggu kepentingan umum.Di beberapa negara Eropa non muslim kehidupan domestik/privat dipisahkan secara tegas dari kehidupan publik, negara melarang masyarakatnya melakukan ciuman di tempat umum karena dianggap mengganggu emosi orang lain.

Bercermin dari aturan negara lain, maka sudah sepantasnya kalau praktik-praktik seperti berbusana ketat hanya boleh dilakukan pada ranah privat; (d) mengangkat harkat dan martabat kaum wanita yang tidak lagi berpenampilan seksi sehingga mereka tidak lagi terkesan sebagai objek seks yang tidak patut dihargai, malah sebaliknya kemolekan tubuhnya dimanfaatkan untuk tujuan komersil, cuci mata, imajinasi dan sejenisnya; (e) pakaian ketat berbahaya bagi kesehatan. Menurut dr Ryan Thamrin, ahli kandungan dan konsultan seks, penggunaan celana jeans ketat pada wanita kerap menimbulkan jamur, keputihan, ataupun gatal-gatal pada bagian vital. Ini disebabkan timbunan keringat yang ada di daerah itu tidak bisa keluar dengan baik dan cenderung menumpuk. Sedangkan menurut hasil kajian sebuah lembaga penelitian di Indonesia soal kualitas sperma pria yang kerap menggunakan celana ketat, hasilnya sangatlah mencengangkan, yaitu jumlah sperma yang biasanya 60 juta per mililiter kini turun drastis hingga ke angka 20 juta per mililiter. (tinjauan kesehataan ini dipublikasi dalam: pikiranrakyat-online.com)
Larangan busana ketat tidaklah semulus wacana dan retorika, pemerintah dan masyarakat akan berhadapan dengan kendala yang tajam pada tataran implementasi. Untuk itu penulis menganjurkan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar larangan busana ketat dapat dijalankan dengan sempurna.

Beberapa Tawaran Solusi

Pertama, pemerintah harus mengawalinya dengan niat yang tulus untuk kebaikan masyarakat, bukan hanya untuk mengalihkan isu demi kepentingan sesaat atau mempolitisir syari'at untuk mencari popularitas semata, dan bukan pula untuk membuktikan Aceh Barat yang telah dinobatkan sebagai Kabupaten Tauhid-Tasawuf. Kedua, penerapan Syari'at Islam tidak boleh diskriminatif dimana hanya terbatas pada cara berpakaian, zina, khalwat, khamar dan maisir tetapi juga harus secara menyeluruh bahkan sampai pada hukuman potong tangan terhadap pelaku korupsi. Aturan larangan pakaian ketat jangan hanya terhadap wanita tetapi juga kaum pria yang memakai celana pendek maupun pakaian yang menampakkan lekuk tubuh. Aturan juga harus berlaku untuk semua lapisan masyarakat. Bukan hanya untuk masyarakat kecil saja, sementara istri pejabat, PNS, pramugari, karyawan bank, karyawan swalayan, dan kawan-kawan bebas berkeliaran tanpa tersentuh oleh hukum. Jika prinsip keadilan tidak dijalankan maka masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah dan acuh tak acuh terhadap Syari'at Islam.

Ketiga, perlu sosialisasi yang lebih lama agar masyarakat memahami betul terhadap implementasi sebuah Qanun sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda atau memunculkan berbagai kesalahpahaman terhadap Syari'at. Karena kenyataan menunjukkan bahwa sebagian yang mengecam Syari'at Islam mengaku belum pernah membaca aturan tersebut. Keempat, memberikan ruang gerak yang lebih luas terhadap peran serta ulama, masyarakat dan orangtua untuk secara bersama-sama mengontrol prilaku saudara seiman agar mematuhi hukum, misalnya seperti penerapan reusam gampong yang pernah dipraktikkan oleh masyarakat Aceh tempo dulu.

Sebagai seorang muslim nampaknya kita perlu melihat secara lebih cermat esensi pelarangan busana ketat yang sesungguhnya sebelum menantang secara berlebihan. Kita tidak semestinya termakan oleh isu-isu demokrasi, pelanggaran HAM dan gender yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam untuk melemahkan aqidah dan komitmen ibadah serta untuk menciptakan konflik di antara sesama muslim sendiri. Wallahua'lam bi shawab.
oleh : andika saputra

permasalahan syariat islam dinegri syariat

PERDEBATAN soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II. Pada umumnya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung berpikir praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini diyakini merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis multidimensi tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik diamini sebagai solusi komplet nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.

Sedikitnya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi Syariat Islam. Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam Undang undang negara. Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.

Syariat sebagai elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling kuat untuk menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah, kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai “keakuan” yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan. Syariat menjadi alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada taraf tertentu syariat bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan “agama syariat” tidak bisa dihindarkan.[1]

Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius. An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif.[2] Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara aplikasi syari’ah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebabnya.[3] Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.

Demikian juga Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan.[4] Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.

Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah –istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah.[5] Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama Islam[6]. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya. Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri[7]. Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah “keinginan politis negara” yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang berbahaya.

Pengalaman formalisasi Syariat Islam di negara kontemporer

Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syari‘ah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan lain-lain, maka penerapan syari‘ah Islam --lebih tepatnya penerapan fikih-- sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syari‘ah diperkenalkan pada tahun 1983. Di beberapa provinsi Nigeria, dimana hukum syari‘ah dalam bentuk hudud diberlakukan, orang-orang dicambuk dan dipotong tangannya, untuk menunjukkan bahwa rezim penguasa adalah orang-orang yang konsisten melaksanakan hukum Allah. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syari‘ah. Bahkan di Mesir yang cenderung sekuler, seorang penulis wanita (Farah Fauda) mati dibunuh didepan apartemennya oleh seseorang yang tengah melaksanakan fatwa ulama yang menyebut bahwa sang penulis telah murtad. Seorang ulama Mesir yang membela si pembunuh menyatakan bahwa jika pemerintah gagal melaksanakan syari‘ah (termasuk membunuh yang murtad tadi) maka setiap muslim berhak melaksanakan pembunuhan itu.

Penerapan syari‘ah dengan otoritas wilâyatul faqih di Iran sejak 1979, telah menyebabkan banyak umat Islam Syi‘ah menjadi risih dengan kemunafikan ulama dan kemudian menolak formalisasi Syariat tersebut. Iran juga tercatat sebagai salah satu negara dengan presentase tertinggi kecanduan narkoba didunia. Sementara penerapan fiqh Wahabi di Arab Saudi bisa terlihat dalam kasus seperti belasan gadis sekolah yang terbakar hidup-hidup setelah ditolak menyelamatkan diri dari gedung sekolahnya yang terbakar oleh polisi agama semata karena mereka tidak memakai cadar[8]

Perang sipil dan pertumpahan darah di Sudan Selatan terjadi karena penerapan syari‘ah. Menurut analisis Esposito, kebijakan Islamisasi Sudan itu sangat menganggu banyaknya orang di Sudan dan juga kepentingan Internasional. Sehingga sejumlah pihak banyak yang menuduh bahwa program islamisasi yang dilakukan lebih memecah belah ketimbang menyatukan Sudan.[9] Konflik berdarah di Nigeria utara juga terjadi karena kelompok-kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan syari‘ah, sementara Nigeria adalah negara plural dengan konstitusi non agama seperti Indonesia. Menurut laporan, ketika syari‘ah Islam pertama kali diterapkan di Nigeria utara, lebih dari 6000 orang mati akibat konflik agama antara 1999-2002. Di wilayah Kaduna, sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syari‘ah pada tahun 2000. Kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syari‘ah juga terjadi di daerah-daerah Bauchi, Jos, dan Aba, yang menelan korban nyawa ratusan orang[10].

Pengundangan negara atas teori syariat sebagaimana yang dipaparkan diatas, menjadi bukti bahwa syariat hampir mustahil untuk dapat berjalan dengan baik dalam konteks nasional dan internasional saat ini. kesulitan yang dihadapi dalam model ini termasuk ambivelensi yang besar bagi pendiri hukum syariat terhadap otoritas politik. Mereka tampaknya tidak mengontrol atau mengetahui, bagaimana membuat orang-orang yang melaksanakannya bertanggung jawab terhadap syariat itu sendiri. Penerapan hukuman bersifat fisik bagi beberapa kejahatan khusus (hudud) misalnya, menghadapi masalah prosedural dan keberatan-keberatan yang tak terselesaikan. Apalagi jika dikaitkan dengan concern Hak-Hak asasi Manusia mengenai kekejaman, tindakan tidak manusiawi dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat. Demikian juga pengabaian hak kewarganeraan bagi perempuan dan komunitas non-muslim akan memperoleh tantangan yang serius baik oleh kelompok yang bersangkutan maupun komunitas internasional secara luas.

Aceh dan ‘syariat syahwat’

Aceh ialah daerah yang banyak diberikan keistimewaan oleh Republik Indonesia. Salah satunya ialah keistimewaan untuk menerapkan formalisasi Syariat Islam. Status ini juga telah dilegalisasi oleh Undang-undang tersendiri (baca: UUPA) . Artinya meskipun Indonesia bukanlah negara agama, akan tetapi khusus Aceh, diberikan pengecualian untuk itu. Meskipun formalisasi tersebut tentunya tidak terlepas dari konteks sosio-politis yang melatar belakanginya.

Formalisasi Syariat di Aceh berbeda dengan negara-negara lain yang menerapkan syariat sebagai konstitusi, dikarenakan Aceh merupakan satu-satunya negara di dunia yang bereksperimen menerapkan Syariat Islam dalam iklim negara demokrasi. Perpaduan unik antara syariat dengan demokrasi ini kemudian melahirkan sebuah syariat bercorak modern, yaitu dengan keterlibatan partisipasi masyarakat didalamnya dalam rangka merancang konsep Syariat yang cocok untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Diharapkan dengan adanya keterlibatan bersama antara rakyat dengan pemerintah ini dapat melahirkan berbagai produk kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi rakyat, terutama umat muslim dalam hal ini. Ini berbeda dengan Iran misalnya, dimana otoritas syariat hanya dipegang oleh ulama-ulama yang tergabung dalam wilâyatul faqih. Rakyat tidak punya hak sama sekali turut campur dalam persoalan agama.

Akan tetapi Formalisasi Syariat Islam yang sudah berlangsung di Aceh selama lebih kurang tujuh tahun ini, kenyataannya hingga detik ini masih belum menunjukan perubahan signifikan terhadap kemajuan dan kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. Timbul beragam kendala ketika syariat mulai dijalankan oleh instrumen negara. Demokrasi atau dikenal dengan istilah syura (musyawarah) dalam Islam, yang merupakan elemen penting dari syariat itu sendiri ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi dalam hal ini masih dijalankan setengah hati. Tidak setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan syariat Islam, rakyat turut terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama kebijakan populis semacam qanun jinayat dan celana ketat yang menggema pada tahun lalu. Problem untuk mengakurkan antara demokrasi dan syariat ini sendiri terjadi karena persepsi keliru pengambil kebijakan, yang menempatkan masyarakat sebagai objek hukum bukan subjek hukum. Dengan kata lain, masyarakat dianggap objek dari sebuah penerapan hukum, yang tidak punya wewenang dan hak dalam merumuskan hukum. Sedang pemerintah disisi lain ialah subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang dapat merekayasa dan merekonstruksi hukum. Persepsi demikian sama dengan menganggap masyarakat Aceh jahiliah serta masih berada dalam alam kegelapan. Sedangkan pemerintah sendiri menganggap diri suci dan berada dalam alam terang benderang. Maka wajar disini apabila pemerintah yang menganggap diri “bersih” ini kemudian menerapkan sapu bersih bagi rakyatnya yang dianggap “kotor”.

Formalisasi Syariat Islam yang diterapkan di Aceh dalam prakteknya hampir tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain yang telah gagal mengelola negara dengan menjadikan syariat sebagai andalan. Semata terlihat dari formalisasi syariat Islam di Aceh yang (persis dengan negara-negara gagal tersebut) terjebak dalam problem-problem parsial seputar syahwat, belum melangkah keluar menyelesaikan problem yang lebih kompleks dalam rangka menuju kemaslahatan umat secara holistik (kaffah). Formulasi Syariat di Aceh telah diramu sedemikian rupa menjadi seperangkat “syariat syahwat” yang sibuk mengurusi syahwat manusia belaka bukannya “syariat hajat” yang mampu mengurus persoalan hajat hidup masyarakat. Syariat model ini terbukti miskin solusi dalam menjawab beragam problem mendasar umat. Misi Islam yang amat mulia yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan penderitaan, justru diturunkan derajatnya dengan hanya mengurus masalah syahwat manusia semata. Seolah-olah kehadiran Islam di muka bumi memang bertujuan untuk menggunting celana-celana semi ketat atau memotong tangan dan kaki manusia belaka, tidak lebih daripada itu. Walhasil bila demikian dangkalnya pemahaman akan syariat Islam, umat lain akan sulit membedakan antara umat muslim yang dikenal beradab dengan suku-suku primitif di jaman baheula yang terkenal biadab.

Anehnya, disatu sisi pemerintah beserta segenap pendukung “syariat syahwat” tampak sangat bernafsu untuk menobatkan umat, misalnya dengan gerakan menggunting celana-celana ketat (Karena diyakini celana–celana itu merupakan permasalahan utama masyarakat). Akan tetapi disisi lain hak-hak dasar umat justru dikangkangi oleh pemerintah. Contohnya, persoalan rumah bagi korban Tsunami di Aceh Barat yang hingga saat ini belum juga terealisir. Disatu sisi Pemkab Aceh barat mampu untuk menyediakan ribuan celana-celana yang dianggap islami untuk dikenakan oleh umat. Namun disisi lain untuk kebutuhan primer semacam rumah misalnya, pemkab Aceh Barat tidak mampu untuk menyediakan satupun rumah sangat sederhana kepada umatnya yang berhak. Alhasil, masyarakat akhirnya harus mengumpulkan koin untuk disumbang pada pemkab Aceh Barat, dalam rangka penyediaan tempat berteduh bagi kaum dhuafa tersebut. Umat kecewa pemkab hanya mampu mengumbar celana-celana longgar, sedangkan rumah sebagai langgar bagi umat untuk beribadah di malam hari justru tidak mampu disediakan oleh pemerintah. Rakyat heran mengapa untuk kebutuhan sandang pemkab mampu menyediakannya tanpa menggunakan dana APBD, sedangkan kebutuhan papan yang merupakan kebutuhan primer tidak sanggup disediakan pemerintah daerah melalui dana APBD. Konon lagi tanpa anggaran negara tersebut. Masyarakat bingung kenapa ibadah sunnah (menyediakan celana bagi rakyat) yang bukan kewajiban negara justru dilakukan oleh pemerintah, sedangkan ibadah wajib (menyediakan rumah bagi yang berhak) malah tidak dikerjakan oleh pemerintah. Apakah pemkab Aceh Barat dalam hal ini bermaksud supaya masyarakat hidup secara islami, dengan cara mengenakan pakaian islami sembari tinggal di gua sebagaimana rasul ketika menerima wahyu dahulu? Kalau demikian halnya tak heran daerah ini dijuluki negeri Tauhid Tasawuf, sebab negeri ini memang banyak sufi yang bergelandang kesana kemari tidak memiliki rumah alias tunawisma.

Ada lagi polemik qanun jinayat, dimana hukum rajam dan potong tangan yang hingga kini masih dalam arena debatable di kalangan jumhur ulama, seperti dipaksakan kemunculannya oleh pihak-pihak yang tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat Aceh yang hingga kini masih hidup dalam keprihatinan. Tidak ada penelitian dari pemerintah maupun dari pihak pro qanun jinayat untuk mengukur sejauh mana kesiapan dan efektifitas pelaksanaan hukuman kontroversial ini ketika kelak diberlakukan dalam konteks masyarakat melarat seperti Aceh. Semuanya disandarkan pada taklid buta akan teks-teks religius. Benarkah rakyat dan pemerintah sudah siap dalam menjalankan hukuman yang banyak menimbulkan masalah di sejumlah negara ini?

“Syariat syahwat” ini pun ternyata banyak ditemukan kejanggalan dalam prakteknya. Aplikasi “syariat syahwat” ini di lapangan ternyata hanya berani mengumbar “syahwat kecil” dari orang-orang kecil. Namun menghadapi “syahwat besar” dari pejabat macam syahwat mengkorup harta anak yatim dan fakir miskin atau syahwat menebang hutan sehingga umat sengsara misalnya, “syariat syahwat” terlihat pengecut dan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi syahwat elite-elite tersebut. “syariat syahwat” seolah diam seribu bahasa dalam menghadapi “syahwat besar”. Sedang kepada “syahwat kecil”, “syariat syahwat” berbunyi nyaring dengan seribu satu macam suara. Secara tidak sadar, Aceh saat ini sebenarnya sedang mengkampanyekan sebuah model Syariat yang senantiasa haus berperang dengan “syahwat-syahwat kecil”, namun senantiasa berdamai dengan “syahwat-syahwat besar”. Sebuah model syariat yang agaknya khusus didesain bagi wong cilik yang tidak punya apa-apa, sedangkan wong licik yang memiliki segalanya, syariat disulap tidak berkutik sama sekali.

Disisi lain, perilaku dari sejumlah aparatur negara yang diamanahkan untuk mengawasi moral umat muslim, dalam hal ini Wilayatul Hisbah (WH), justru dipertanyakan kembali moralnya oleh masyarakat. Saat ini Aceh digemparkan oleh ulah sejumlah oknum WH yang dengan tega telah memperkosa seorang gadis dalam tahanan. Sebagaimana di beritakan harian Serambi Indonesia (edisi 12 Januari 2010) seorang gadis berusia 20 tahun disebuah perguruan tinggi dilaporkan menjadi korban pemerkosaan yang diakui dilakukan oleh tiga oknum anggota WH kota langsa. Kasus itu terjadi Jumat (8/1) dini hari ketika korban sedang diamankan diruang tahanan WH setelah tertangkap bersama teman prianya di jalan Lingkar PTPN-I langsa, Kamis (7/1) siang. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana hancurnya perasaan si gadis dan orangtuanya, ketika mengalami musibah berat seperti ini. Masa depan gadis tersebut hancur akibat nafsu biadab dari polisi yang seharusnya menjaga moral masyarakat. Tak pelak aksi bejat oknum WH tersebut membuat masyarakat kian hari kian was-was. Masyarakat semakin cemas dengan polisi moral ini setiap kali mereka beraksi. Sebab bukan sekali ini saja WH melampiaskan syahwat terpendamnya kepada masyarakat kecil. Alih-alih menjaga moral ribuan umat muslim, diam-diam mereka sendiri justru berbuat amoral dibelakang jutaan umat Islam. Mungkinkah berharap kepada mereka untuk membina umat agar beradab, sedangkan mereka sendiri tak segan-segan melakukan perbuatan biadab kepada umat? dapatkah kita percayakan mereka menjaga kesusilaan, sedang mereka sendiri gemar berbuat asusila?

Patut dipertanyakan kembali sejauh mana proses rekruitmen dari polisi penegak syariat ini. Kuat dugaan ada masalah dalam penjaringan aparat penegak hukum Islam di Serambi Mekkah. Seandainya tidak ada problem tentu tidak mungkin kejadiannya seperti ini. Kita khawatir akibat proses seleksi yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan lolosnya segerombolan “polisi syahwat” di dalam institusi penegak syariat, yang sewaktu waktu dapat melampiaskan syahwatnya pada umat dengan dalih dalam rangka menegakkan syariat. Kedepan selain proses seleksi terhadap WH diperbaiki, dinas terkait juga harus merancang aturan untuk mempertegas sanksi hukum terhadap oknum aparatur penegak syariat yang melakukan tindakan kontraproduktif terhadap tujuan syariat itu sendiri. Hukuman tersebut harus berat, sebab selain mereka memang sudah sewajarnya memberikan suri tauladan baik dalam menjaga moral masyarakat, perbuatan asusila yang dilakukan oknum aparatur syariat ini sendiri telah mencoreng marwah institusi syariat sekaligus kesucian agama Islam. Diharapkan dengan adanya sanksi tegas bagi setiap aparat penegak syariat yang mencoreng wajah Islam, perbuatan-perbuatan terkutuk seperti saat ini tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Jangan sampai institusi penegak syariat Islam kelak menjadi sarang penjahat syahwat berseragam syariat.

Kemudian pernyataan pemerintah bahwa formalisasi Syariat Islam di Aceh adalah syariat multidimensi alias kaffah, agaknya tidak jauh berbeda dengan janji politikus ketika berkampanye. Bila tak elok dikatakan cuma dongeng pengantar tidur bagi rakyat yang sedang susah tidur akibat dihimpit berbagai kesulitan hidup. Hingga detik ini belum tampak adanya langkah maju dari pemerintah Aceh dalam mewujudkan Syariat multidimensi tersebut, terutama dalam hal ini Dinas Syariat Islam provinsi untuk melakukan berbagai terobosan progresif di bidang penegakan Syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Rakyat Aceh belum melihat adanya upaya cerdas dari dinas Syariat Islam untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar umat sebagaimana misi Islam sejatinya. Masyarakat belum melihat adanya kerjasama secara terstruktur dan sistematis antara Dinas Syariat Islam dengan SKPA di lingkungan pemerintah provinsi beserta SKPD di lingkup pemerintah kabupaten/kota di Aceh terkait penerapan Syariat Islam secara kaffah. Minimal seharusnya ada semacam rekomendasi dari Dinas Syariat Islam kepada pemerintah Aceh dan kabupaten/kota terkait penanganan masalah ekonomi kerakyatan berbasis Islam. Sehingga diharapkan Syariat Islam tidak hanya fokus dalam menangani persoalan organ kelamin semata, akan tetapi selayaknya Syariat Islam juga dapat memberi solusi konkrit terhadap berbagai permasalahan organ vital manusia lainnya, seperti organ perut misalnya . Karena apabila organ vital untuk hidup ini tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah, kita ragu umat memiliki cukup energi untuk bermunajat kepada yang maha Kuasa. Tentunya solusi konkrit tersebut harus diwujudkan dilapangan. Tidak hanya sekadar beretorika bahwa Syariat memberikan jawaban terhadap masalah ini itu, tapi realitanya nol besar. Umat lelah mendengar bualan pemerintah beserta segenap pendukung “syariat syahwat”.

Berkaitan dengan hal tersebut, entah apakah ada hubungannya atau tidak dengan formalisasi Syariat, yang jelas kondisi kesejahteraan rakyat Aceh hari ini tidak dapat dikatakan menggembirakan. Bila tak ingin disebut menyedihkan dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia yang tidak menerapkan formalisasi agama ke ruang publik. Mulai dari inflasi sampai sempitnya lapangan pekerjaaan, semua itu bagaikan mimpi buruk bagi masyarakat Aceh yang hingga kini mayoritas masih hidup dibawah garis kemiskinan. Adalah sebuah kebohongan publik apabila mengatakan mayoritas rakyat Aceh saat ini sudah bebas dari kemiskinan dan hidup makmur sejahtera. Sebab kenyataan menunjukan sebaliknya. Bagaimana mungkin dapat dikatakan sejahtera sedangkan kaum dhuafa saja masih banyak menderita karena tidak punya rumah dan pekerjaan? Bagaimana bisa disebut makmur sedangkan harga kebutuhan pokok di Aceh semakin lama semakin melambung, menambah beban rakyat yang kian hari kian menggunung? Alhasil bila kondisi ini terus menerus dibiarkan bukan tidak mungkin daerah yang bangga dengan klaim sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang berstatus Syariat ini, kelak akan kolaps perekonomiannya diiringi dengan ledakan pengangguran dan orang miskin. Bila demikan yang terjadi status Aceh sebagai daerah syariat Islam terasa hampa sebab tak ada artinya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat muslim khususnya dan rakyat Aceh pada umumnya.

Akhir kata, bagaimanakah nasib Aceh kedepan dengan formalisasi “Syariat syahwat” yang sudah berlangsung lebih kurang selama tujuh tahun ini? akankah nasib Aceh kelak serupa dengan negara syariat di belahan dunia lain, yang alih-alih hendak membahagiakan umat dengan formalisasi syariat, malah kini negara-negara itu diambang kehancuran akibat krisis politik dan ekonomi ekses dari formalisasi agama tersebut? Atau nasib Aceh kedepan justru lebih baik dari negara-negara yang terbukti telah gagal mengelola negara dengan menjadikan syariat sebagai pamungkas? Sedikit gambaran, penulis pribadi belum melihat adanya negara kontemporer yang sukses menerapkan formalisasi Syariat Islam tanpa diiringi konflik horisontal dengan pertumpahan darah didalamnya, disertai krisis multidimensi yang selanjutnya merobohkan tatanan negara tersebut. Akankah Aceh mengalami nasib naas seperti itu? Wallahualam [] TEUKU HARIST MUZANI | Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Unsyiah. Peminat Studi Kritis Hukum Islam.oleh : andika saputra