dika blog

dika blog
subhanallah

Total Tayangan Halaman

Rabu, 16 Juni 2010

Problematika Globalisasi: Peluang dan Tantangan Islam
suatu wacana

Problematika Globalisasi: Peluang dan Tantangan Islam

Globalisasi sebagai realitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan tidak bisa terus-menerus
dipersalahkan. Tidak satu bangsapun yang mampu menolak gelombang dunia ketiga (the third
wave) bernama globalisasi. Permasalahan yang sekarang ini timbul adalah tantangan agar umat
Islam berbuat lebih baik dan bekerja keras dengan potensi yang dimiliki untuk merubah
tantangan menjadi peluang. Globalisasi adalah peluang untuk mewujudkan Islam sebagai
agama rahmatan li al alamin: menciptakan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia.

Abdul Mu' ti
Ketua Umum Pimpinan
Pusat (PP) Pemuda
Muhammadiyah.

"Muslims and Muslim countries are faced with a tremendous and frightening challenge. Globalization in the
form that it takes now is a threat against us and our religion. We should not vent our anger and frustration by
mounting futile isolated violence. Instead, we should plan and execute the development of our ummah
so as to be empowered by information technology and be capable of handling the challenges of the
Information Age. This is our real jihad. I believe we have the talents and the capacity to ensure the success of
this jihad." 1
Sejak satu dasawarsa terakhir, manusia memasuki babak baru dalam sejarah
peradaban manusia: globalisasi. Sebagai sebuah realitas sosiologis, masyarakat dunia
memberikan respon yang berbeda. Ungkapan seperti: Think globally, act locally merupakan
salah satu respon positif terhadap globalisasi yang ditandai oleh perubahan pola berpikir yang
lebih terbuka dan luas (globally) sekalipun dalam menentukan langkah di tingkat lokal. Hal ini
1 Mahatir Mohammad, Globalization and the New Realities, Prime Minister Office, Malaysia, 2002, hlm. 27.
karena apa yang terjadi di suatu tempat yang sangat jauh sekalipun (remote areas) memiliki
kaitan erat (interconnected) dengan belahan dunia lain. Sebagian lainnya memberikan reaksi
negative. Plesetan, globalisasi menjadi "gombalisasi" dalam bahasa Indonesia adalah salah
satu contoh reaksi negative itu. Tidak jarang, globalisasi melahirkan janji-janji palsu dan
realitas pahit bagi sebagian masyarakat.
Globalisasi telah membawa perubahan pola berpikir, tingkah laku dan pandangan
hidup manusia. Seseorang dapat menjelajah dunia dengan hanya duduk didepan magical
box bernama televisi. Mereka menjelajah dunia tanpa pesawat terbang, kapal laut atau sarana
transportasi lainnya. Globalisasi sudah menyentuh hampir seluruh sisi kehidupan, termasuk
agama. Karena itu, globalisasi -sedikit atau banyak telah mempengaruhi umat Islam.
Makalah ini melihat tiga persoalan pokok. Pertama, pengertian globalisasi dan
tatanan dunia baru yang diakibatkan oleh globalisasi. Kedua, dampak negative dan
problematika sosial, ekonomi, budaya dan agama yang ditimbulkan oleh globalisasi. Ketiga,
bagaimana peluang dan tantangan Islam dalam era globalisasi sehingga mampu menjadi
kekuatan rahmatan li al alamin.
Pendekatan yang dan metodologi yang dipakai dalam makalah ini adalah
pendekatan literature dengan analisis kritis (critical thinking) yang dikembangkan dengan
analisis deskriptif, komparatif dan sintesis.
GLOBALISASI: TATANAN DUNIA BARU
Sekarang ini, masyarakat dunia telah memasuki tatanan dunia baru: globalisasi. Menurut
Asghar Ali Engineer, globalisasi bukanlah fenomena baru. Ketika manusia mengadakan
perjalanan dari satu bagian bumi (globe) ke bagian yang lain, saat itulah globalisasi terjadi.
"Globalisation is said to be about connectivity, connectivity with different parts of the globe." 2
Dalam pengertian ini, globalisasi berarti becoming worldwide; internasionalisasi.
Secara umum terdapat lima aspek globalisasi yang saling berkaitan.
2 Asghar Ali Engineer, "Islam, Globalisation and Fundamentalism", Islam and Modern Age, August, 2002, hlm.
1.
"(1) free trade in good and services, ... (2) free movement of capital; (3) free movement of
labor; (4) the technologies that enables and encourage the three other trends; and (5) the possible
convergence of values that the other four aspects of globalization give to rise." 3
Globalisasi terjadi pada hampir semua bidang kehidupan. Sejak tahun 1990-an, telah
terjadi globalisasi ekonomi yang ditandai dengan penandatanganan kerjasama ekonomi
global seperti GATT, NAFTA dan AFTA. Dengan paket-paket perjanjian tersebut dunia
menjadi pasar terbuka (open market) dimana suatu negara tidak boleh melakukan proteksi
dan melarang masuknya modal, tenaga kerja dan produksi dari negara lain.4 WTO, IMF, G3
dan sejenisnya merupakan lembaga donor yang mempercepat terjadinya proses globalisasi
ekonomi.
Disamping globalisasi ekonomi, terjadi pula globalisasi informasi. Ciri paling
noteable dalam era ini adalah revolusi teknologi komunikasi yang sangat menakjubkan. Alvin
Toffler sebagaimana dikutip Azra (1999) menyebutnya sebagai "era informasi" dimana
manusia telah memasuki gelombang peradaban yang ketiga setelah pertanian (gelombang
pertama) dan industri (gelombang kedua). Kemampuan dalam bidang komunikasi adalah
power yang memungkinkan manusia menjelajah dunia.5 Dengan handphone yang hanya
segenggam, manusia dapat "menggengam" seisi dunia. Manusia dapat melakukan kontak
dengan rekannya di negara lain melewati batas-batas territorial dan waktu. Ketika Ronaldo
menyarangkan bola ke gawang Jerman di final Piala Dunia, para fans Brazil di sebuah desa
kecil di Indonesia bersorak kegirangan pada saat yang sama dengan rakyat Brazil Rio de
Janeiro dan belahan dunia lainnya. Teknologi satelit memungkinkan manusia membuka isi
dunia. Terbentuklah global village (desa global) yang melintasi batas territorial negara (state
borderless).
Globalisasi informasi melahirkan tatanan budaya baru: global culture (budaya global)
yang disertai adanya global values (nilai global) dan gaya hidup global (global lifestyle). Tatanan
budaya baru ini terjadi melalui pergaulan antar suku-bangsa baik melalui pertemuan langsung
3 Rodolfo C. Severino Jr. Towards an Asean Strategy of Globalization, CSIS, Jakarta, hlm. 11.
4 Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents, W.W. Norton and Company, New York, London,
2002.
5 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Paramadina, Jakarta, 1999,
baca terutama pada bagian ke empat: Islam, Globalisasi Informasi dan Teknologi
maupun melalui media massa, terutama media elektronik. Film, musik dan life-style masuk ke
berbagai negara melalui siaran TV, radio, video, internet dan media elektronik lainnya.
Interaksi antar budaya tersebut -memang- terjadi secara alamiah (natural) dan sukarela
(voluntary). Meskipun, dalam perkembangannya interaksi tersebut menimbulkan respon yang
berbeda-beda. Terjadi proses akomodasi, asimilasi bahkan resistensi terhadap budaya baru
yang bertentangan dengan budaya "asli".
GLOBALISASI: TATANAN DUNIA YANG TIMPANG
Tidak ada satu negeripun di dunia ini yang mampu membendung arus
globalisasi. Tetapi, globalisasi tidak selalu menimbulkan dampak positif. Salah satu
persoalan yang tidak mudah dipecahkan adalah bagaimana menjadikan globalisasi sesuai
dengan stabilitas sosial dan politik domestik: "ensuring that international economic integration
does not contribute to domestic social disintegration." 6 Globalisasi bukanlah proses yang bebas
nilai (value-free) tetapi sarat dengan nilai-nilai terutama negara penggagasnya: Barat. Karena itu,
konflik terbesar dalam era globalisasi adalah konflik berdasarkan nilai (value based conflics).7
Senada dengan Azra, Huntington dalam The Clash of Civilizations?, menjelaskan
dalam tatanan dunia baru sekarang ini sumber konflik yang paling, fundamental bukanlah
ekonomi atau ideology tetapi budaya. Sangat mungkin, terjadi benturan antar delapan
peradaban besar: Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Slavic-Ortodoks, Amerika Latin dan
Afrika.8 Benturan tersebut disebabkan oleh lima hal:
1. differences among civilizations are not only real; they are basic. Civilizations are differentiated from each other by
history, language, culture, tradition and, most important, religion.
2. the world is becoming a smaller place. The interactions between people of different civilizations are
increasing; these increasing interactions intensify civilization consciousness and awareness of differences
between civilizations and commonalities within civilizations.
6 Dani Rodrick, Has Globalization Gone Too. Far?, Institute for International Economics,
Washington, D.C., 1997, hlm. 2.
7 Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas.
Rajawali Press, Jakarta, 2002, hlm. 17.
8 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, Foreign Affairs, 1993, hlm. 23-24.
3. the processes of economic modernization and social change throughout the world are separating people from
longstanding local identities. They also weaken the nation state as a source of identity. In much of the world religion
has moved in to fill this gap, often in the form of movements that are labeled "fundamentalists".
4. the growth of civilization-consciousness is enhanced by the dual role of the West.
5. cultural characteristics and differences are less mutable and hence, less easily compromised and resolved than
political and economic ones.... Even more than ethnicity, religion discriminates sharply and exclusively among
people. A person can be half-French and half-Arab ... It is more difficult to be half-Catholic and half-
Muslim.9
Meskipun clash tersebut bersifat terbuka, tetapi hampir selalu "dimenangkan" oleh Barat.
Faktor utamanya adalah karena Barat menguasai teknologi dan komunikasi. Akibatnya,
globalisasi seringkali dipahami sebagai proses "westernisasi". Pertama, globalisasi lahir dan
berkembang pesat dari rahim masyarakat Barat. Kedua, kekuatan ekonomi dan politik
memungkinkan Barat untuk "mendiktekan" nilai-nilai dan budayanya kepada negara lain.
Masyarakat Barat memil iki perasaan superior dan anggapan bahwa kebudayaan
mereka lebih baik, universal dan applicable di negara manapun. Disamping karena "realitas"
bahwa Barat lebih maju secara ekonomi, anggapan tersebut juga diperkuat oleh
melimpahnya informasi dari para Orientalist yang cenderung mendiskreditkan budaya lain,
terutama Timur.10
Penetrasi budaya Barat ini sangat jelas terlihat dalam isu-isu kontemporer. Misalnya,
feminisme, HAM dan demokrasi. Penetrasi budaya ini tidak selalu berdampak negative.
Feminisme yang mulai masuk dan berkembang di negara-negara Muslim mampu merubah wacana
dan perlakuan yang lebih baik terhadap wanita dalam masyarakat yang paternalistik dan maledominated.
Begitu pula dengan HAM. Beberapa negara -dengan terpaksa atau sukarelamembentuk
pengadilan HAM sebagai lembaga publik untuk melindungi dan menjamin
terpenuhinya hak-hak azasi manusia. Demokrasi telah menjadi "ideologi" global yang mengakhiri
segala bentuk pemerintahan yang tiranik dan otoriter.
Sayangnya, tidak dapat dipungkiri adanya pemaknaan, ukuran dan praktinya yang stronglywest
sehingga Barat merasa perlu "mengamankan" dengan aksi-aksi politik, ekonomi dan militer.
9 Samuel P. Huntington, Ibid, hlm. 25-27.
10 Brian S. Turner, Orientalisme, Postmodernisme dan Globalisme, terjemah Eno Syafrudien, Riora Cipta,
Jakarta, 2002.
Inilah salah satu sebab mengapa globalisasi tidak selalu "compatible" dan "acceptable" di negaranegara
yang basis kulturnya non-Barat. Globalisasi budaya dan gaya dan gaya hidup Barat yang
memiliki pretensi-pretensi "peradaban universal"11 justru mendorong semakin menguatnya
resistensi budaya lokal dan regional.12
Begitu pula dengan budaya Barat yang sangat permissive, terutama menyangkut
hubungan pria-wanita. Isu seperti free-sex, homo seksual, lesbian, busana dan sejenisnya yang
masuk melalui film dan budaya pop menjadi isu yang tidak mudah untuk diterima di Timur,
terutama negara yang Muslim-based culture. Seiring dengan kemajuan demokrasi dan HAM
orang mulai berani membuka identitas dirinya, termasuk perilaku yang sangat bertentangan
dengan norma dan ajaran agama. Realitas inilah yang menyebabkan sebagian Muslim sangat
critical bahkan apriori terhadap modernisasi dan globalisasi.
Dampak negative globalisasi dalam bidang ekonomi juga sangat jelas. Dengan konsep open
market (pasar terbuka) globalisasi semakin memperkokoh kapitalisme dan membuat
kesenjangan antara negara kaya dengan miskin semakin terbuka lebar. Dengan nada yang
sangat pesimistis, Jose T. Almonte mengatakan: "... globalization will not bring about self-evident general
progress. Indeed, it will sharpen the already- acute inequalities between rich and poor-within countries and between
them." 13
Kesenjangan tersebut sangat nampak dalam beberapa aspek ekonomi. Laporan World
Bank sebagaimana dikutip Almonte menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang
sangat memprihatinkan. Saat ini, perbandingan kekayaan masyarakat yang tinggal di negaranegara
kaya dengan negara miskin adalah 74:1. Pendapatan rata-rata mereka yang bekerja satu hari di
Swiss sama dengan mereka yang bekerja selama satu tahun di Ethiopia. 200 orang terkaya di
11 Menurut Huntington, "peradaban universal" memiliki empat ciri. (1) adanya kesamaan nilai,
"kesadaran moral" dan benar-salah dengan budaya lainnya. Misalnya, pembunuhan adalah perbuatan jahat; (2)
masyarakat yang telah berperadaban, seperti masyarakat yang tinggal di perkotaan, mampu baca-tulis, bukan
masyarakat Barbarian, (3) Davos Culture: pelbagai asumsi, nilai, dan doktrin yang akhir-akhir ini dijalankan oleh
sebagian besar orang (di) Barat dan sebagian orang-orang non-Barat, (4) ide yang dikembangkan adalah
bentuk-bentuk (budaya) Barat dan kebudayaan popular di seluruh dunia, yang lantas menciptakan sebuah
peradaban universal. Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, terjemah M. Sadat Ismail, Qalam,
Yogyakarta, cetakan 5, 2002, hIm. 75-78.
12 Azyumardi Azra, Konflik Baru, Op.Cit., hlm. 15.
13 Jose T. Almonte, Towards an Asean Strategy of Globalization, CSIS, Jakarta, 2001, hlm. 9.
dunia memiliki asset yang lebih banyak dibandingkan dengan 2 milyar orang-orang miskin di
dunia.14
Kesenjangan ekonomi telah menjadi salah satu faktor yang mendorong lahirnya gerakan
fundamentalisme, radikalisme dan sejenisnya di negara-negara berkembang. Sebagaimana
dikemukakan Engineer,15 Bruinessen16 dan Huntington,17 fundamentalism lebih banyak
disebabkan oleh alasan ekonomi dibandingkan dengan alasan teologi dan budaya. Politik
perdagangan minyak Amerika di Timur Tengah merupakan salah satu sebab
munculnya fundamentalisme dan konflik yang tak pernah henti di Timur Tengah.
Dengan ungkapan yang sangat sarkastis, Mahatir mengkritik globalisasi dengan
mengatakan:
"A globalized world is not going to be a very democratic world. A globalized world is going to belong to
the powerful, dominant countries. They will impose their will on the rest. And the rest will be no better
off than when they were colonies of the rich."18
Globalisasi juga menimbulkan masalah lingkungan, kesehatan masyarakat, dan
kriminalitas lintas negara. Secara khusus, Almonte menggambarkan janji globalisasi sebagai "...
pie-in-the-sky, compared to the day-to-day problems global interdependence can bring."19
GLOBALISASI: PELUANG DAN TANTANGAN ISLAM
Problematika dan dampak negative globalisasi memang paling banyak menimpa
masyarakat di negara-negara miskin atau sedang berkembang. Mayoritas negara-negara
Muslim adalah negara-negara miskin dan negara berkembang. Di Asia misalnya, negaranegara
miskin membentang dari Indonesia, Afghanistan, Pakistan, Maladewa, Irak dan
Banglades yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Meskipun beberapa negara seperti
14 Jose T. Almonte, Ibid, hlm. 9
15 Asghar Ali Engineer, "Islam..." Op. Cit. hlm. 2.
16 Martin van Bruinessen, "Muslim Fundamentalism: Something to Understand or to be Explained Away”,
Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 6 (2), hlm. 157-171.
17 Samuel P. Huntington, The Clash ..., Op.Cit., hlm. 26.
18 Mahatir Mohammad, Globalisation..., Op. Cit., hlm. 219
19 Almonte, Op.Cit. hlm. 9.
Brunei Darussalam, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat dan negara Timur Tengah lainnya
termasuk negara yang kaya, tetapi secara politik mereka juga sangat tergantung pada negaranegara
Barat. Salah satu negara Muslim yang mampu berkembang dengan kemandirian dan
kemajuan ekonomi yang cukup menjanjikan adalah Malaysia. Dalam perspektif inilah,
mengapa globalisasi banyak menimbulkan masalah di negara-negara Muslim dan menimbulkan
kesan umum bahwa Islam tidak kompatibel dengan globalisasi.
Secara normative dan histories, Islam justeru merupakan agama yang paling awal
meletakkan fondasi globalisasi. Landasan normative dapat ditemukan dalam banyak ayat yang
menegaskan universalitas misi risalah islamiyah yang dibawa Nabi Muhammad tidak secara
exclusive ditujukan kepada masyarakat Arab melainkan untuk seluruh umat manusia. "Aku
tidak mengutus kamu Muhammad melainkan untuk menebarkan kerahmatan bagi seluruh alam
semesta." (Qs. Al-Anbiya: 107). Di dalam ayat tersebut terdapat tiga hal penting yang
perlu dikemukakan. Pertama, adanya estafet risalah islamiyah dari rasul-rasul Allah kepada
umatnya. Ketika Muhammad sebagai rasul Allah sudah wafat, maka tugas risalah berikutnya
berada di pundak kaum muslimin. Kedua, muslim diwajibkan oleh Allah untuk
mengamalkan ajaran Islam yang dengannya mereka dapat menciptakan kesejahteraan.
Ketiga, pengamalan Islam harus dilaksanakan dimanapun, oleh siapapun tanpa melihat
etnisitas dan batasan geografis.
Dalam perspektif ini, Islam tidak menempatkan superiotas dan privilege terhadap
suku dan bangsa tertentu, tetapi pada kualitas keimanan dan taqwanya: "Wahai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan sehingga kamu tumbuh
menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku agar kamu saling mengenal. Ketahuilah yang terbaik diantara
kamu adalah yang paling bertagwa."(Qs. Al-Hujurat: 13).
Secara historis, Islam memiliki pengalaman yang sangat kaya. Pada abad
pertengahan, Islam dan Muslim mejadi obor yang menerangi kegalapan dunia pada
umumnya dan Eropa pada umumnya. Pengalaman sejarah ini meninggalkan dua akibat yang
sangat manis dan sangat pahit. Kejayaan Islam merupakan romantisme yang sangat manis
untuk dicatat. Tetapi, kekalahan negara--negara Muslim melawan kolonialisme Barat
merupakan kenyataan pahit. Faktor inilah yang melahirkan kebencian abadi (continuous hatred)
dalam diri sebagian Muslim yang sangat anti-Barat.
Fundamentalisme dan radikalisme yang tumbuh di negara-negara Muslim
merupakan reaksi psikologis dari kepahitan sejarah. Melihat kelahiran Fundamentalisme
hanya dari sudut pandang sangatlah tidak tepat. Fundamentalisme merupakan realitas
histories-sosiologis yang sangat kompleks yang lahir dari rahim nasionalisme, rasisme,
sektarianisme dan -juga- agama. Karena itulah, fenomena fundamentalisme tidak hanya
tumbuh dalam kalangan Islam, hampir semua negara yang mengalami akibat buruk
kolonialisme dan -sekarang- globalisasi. Fundamentalisme muncul dari keinginan kuat untuk
melakukan "self-actualisation" (aktualisasi diri); membangun identitas berdasarkan "kekuatan"
yang dimiliki sebagai modal dan basis mempertahankan diri.20 Pengamatan terhadap
munculnya kelompok anti-globalisasi dari satu angle; sebagai konflik Islam vis a vis Barat atau
karena faktor agama sangat bias dan simplisistik.21
Meskipun sangat bisa dipahami, tetapi Fundamentalisme bukanlah cara yang tepat
untuk bangkit dari kekalahan dan melawan hegemoni Barat. Globalisasi tidak dapat
dilawan dengan kekerasan dan aksi teror sebab resikonya sangat berat: kehancuran.
"Umat Islam harus mampu menunjukkan sebuah kearifan global (a global wisdom) pada saat
pihak lain masih bermata dan berhati gelap!"22
Alih-alih melawan Barat, Syafii Maarif justeru menegaskan agar Islam dan Barat
bergandeng tangan dalam meretas masa depan dan mengatasi dampak globalisasi dengan
melakukan empat langkah: (1) mengembangkan political will yang kuat untuk melakukan
kerjasama secara damai dan bermanfaat untuk kedua belah pihak (2) Islam dan Barat sudah
harus mulai bekerjasama untuk mengatasi problem globalisasi dengan mengentaskan
kemiskinan, menghilangkan ketidakadilan, kecurigaan dan segala parktik diskriminasi pada
tingkat lokal dan global (3) menata diri untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan
20 Lihat Martin van Bruinessen, "Muslim Fundamentalism:....", Asghar Ali Engineer, "Islam, Globalization,
...".
21 21Taufik Abdullah, "The Clash of Civilization: A Prognosis of the Future or the Lure of the Past", Studia Islamika,
Vol. 5 (2).
22 Ahmad Syafii Maarif, "Islam Vs. Terorisme", Suara Muhammadiyah, No. 1, Th. Ke 88, 1-15 Januari 2003, hlm.35.
menerima pluralitas sebagai realitas kehidupan masyarakat global (4) melangkah lebih jauh
dari keadaan sekarang ini dengan meningkatkan sikap saling memahami satu sama lain.23
Senada dengan Syafii Maarif, Mahatir Mohammad -sebagaimana dikutip di awal
tulisan ini- mengajak umat Islam untuk melakukan jihad dengan membuang jauh frustasi dan
segala bentuk tindak kekerasan. Jihad yang dimaksudkan Mahatir adalah "...plan and execute the
development of our ummah so as to be empowered by information technology and be capable of handling
the challenges of the Information Age.”24 (... merencanakan dengan baik dan melakukan langkahlangkah
konkrit untuk memajukan umat sehingga mampu menguasai teknologi informasi
dan menjawab tantangan Era Informasi). Inilah langkah rasional yang membuat umat Islam
semakin berwibawa dan terhormat.
Langkah yang lainnya adalah mengembangkan jaringan Islam (Islamic network).
Langkah ini dilakukan dengan menghimpun kekuatan umat Islam yang tersebar di seluruh
dunia. Inilah salah satu manfaat moderisme dan globalisme bagi umat Islam. Kaum Muslim
tidak lagi merupakan dominasi Arab, tetapi sudah menjadi fenomena global. Muslim tersebar
di hampir seluruh penjuru dunia dan tumbuh menjadi komunitas yang sangat diperhitungkan,
bahkan di negara-negara Barat itu sendiri. Tulisan Abdullah Saeed dan Shahram Akbar Zadeh25
mengenai komunitas Muslim di Australia, Amber Haque 26dan Muzaffar Haleem27 mengenai
perkembangan Islam di Amerika serta pengalaman sebagai seorang Muslim Perancis yang
ditulis Tareeq Ramadhan,28 menumbuhkan secercah harapan bahwa Islam akan mampu
berdiri tegak dan menjadi kekuatan global yang mampu memberikan solusi atas
problematika globalisasi.
23 Ahmad Syafii Maarif, "Islam and the Challenge of Managing Globalization", Paper disampaikan dalam The Trilateral
Commission, 2002 Annual Meeting, Washington, D.C., April 5-8, 2002, hlm. 11-12.
24 Mahatir Mohammad, Globalization ..., Op. Cit., hlm. 27.
25 Abdullah Saeed and Shahram Akbar Zadeh (editor), Muslim Communities in Australia, University of New South
Wales, Sidney, 2001.
26 Amber Haque (editor), Muslim and Islamization in North America: Problem and Prospect, A.S. Noorden & Amana
Publications, Kuala Lumpur, 1999.
27 Muzaffar Haleem (editor) The Sun is Rising In The West, A.S. Noorden & Amana Publications,Kuala
Lumpur, 1999.
28 Tareeq Ramadhan, Teologi Islam dan Barat, terjemah Abdullah Ali, Mizan, Bandung, 2002.
Islam akan mampu menjadi kekuatan alternative karena jaringannya yang sangat
luas. Jaringan tersebut dikembangkan dengan saling memberikan bantuan satu dengan
lainnya dalam bentuk yang lebih produktif. Misalnya, bantuan bea siswa dan pelatihan
maupun bantuan ekonomi yang mampu memberdayakan dan meningkatkan umat Islam di
negara-negara berkembang.
PENUTUP
Globalisasi sebagai realitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan tidak bisa terusmenerus
dipersalahkan. Tidak satu bangsapun yang mampu menolak gelombang dunia
ketiga (the third wave) bernama globalisasi. Permasalahan yang sekarang ini timbul adalah
tantangan agar umat Islam berbuat lebih baik dan bekerja kerasa dengan potensi yang
dimiliki untuk merubah tantangan menjadi peluang. Globalisasi adalah peluang untuk
mewujudkan Islam sebagai agama rahmatan li al alamin: menciptakan perdamaian dan
kesejahteraan umat manusia. Wallahu a’lam bi a shawab.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar